You are currently browsing the category archive for the ‘Artikel’ category.

Islam di Amerika Sebelum Columbus
Christopher Columbus menyebut Amerika sebagai ‘The New World’ ketika pertama kali menginjakkan kakinya di benua itu pada 21 Oktober 1492. Namun, bagi umat Islam di era keemasan, Amerika bukanlah sebuah ‘Dunia Baru’. Sebab, 603 tahun sebelum penjelajah Spanyol itu menemukan benua itu, para penjelajah Muslim dari Afrika Barat telah membangun peradaban di Amerika.
Klaim sejarah Barat yang menyatakan Columbus sebagai penemu benua Amerika akhirnya terpatahkan. Sederet sejarawan menemukan fakta bahwa para penjelajah Muslim telah menginjakkan kaki dan menyebarkan Islam di benua itu lebih dari setengah milenium sebelum Columbus. Secara historis umat Islam telah memberi kontribusi dalam ilmu pengetahuan, seni, serta kemanusiaan di benua Amerika.
”Tak perlu diragukan lagi, secara historis kaum Muslimin telah memberi pengaruh dalam evolusi masyarakat Amerika beberapa abad sebelum Christopher Columbus menemukannya,” tutur Fareed H Numan dalam American Muslim History A Chronological Observation. Sejarah mencatat Muslim dari Afrika telah menjalin hubungan dengan penduduk asli benua Amerika, jauh sebelum Columbus tiba.
Sejarawan Ivan Van Sertima dalam karyanya They Came Before Columbus membuktikan adanya kontak antara Muslim Afrika dengan orang Amerika asli. Dalam karyanya yang lain, African Presence in Early America, Van Sertima, menemukan fakta bahwa para pedagang Muslim dari Arab juga sangat aktif berniaga dengan masyarakat yang tinggal di Amerika.
Van Sertima juga menuturkan, saat menginjakkan kaki di benua Amerika, Columbus pun mengungkapkan kekagumannya kepada orang Karibian yang sudah beragama Islam. “Columbus juga tahun bahwa Muslim dari pantai Barat Afrika telah tinggal lebih dulu di Karibia, Amerika Tengah, Selatan, dan Utara,” papar Van Sertima. Umat Islam yang awalnya berdagang telah membangun komunitas di wilayah itu dengan menikahi penduduk asli.
Menurut Van Sertima, Columbus pun mengaku melihat sebuah masjid saat berlayar melalui Gibara di Pantai Kuba. Selain itu, penjelajah berkebangsaan Spanyol itu juga telah menyaksikan bangunan masjid berdiri megah di Kuba, Meksiko, Texas, serta Nevada. Itulah bukti nyata bahwa Islam telah menyemai peradabannya di benua Amerika jauh sebelum Barat tiba.
Fakta lainnya tentang kehadiran Islam di Amerika jauh sebelum Columbus datang juga diungkapkan Dr Barry Fell, seorang arkeolog dan ahli bahasa dari Universitas Harvard. Dalam karyanya berjudul Saga America, Fell menyebutkan bahwa umat Islam tak hanya tiba sebelum Columbus di Amerika. Namun, umat Islam juga telah membangun sebuah peradaban di benua itu.
Fell juga menemukan fakta yang sangat mengejutkan. Menurut dia, bahasa yang digunakan orang Pima di Barat Daya dan bahasa Algonquina, perbendaharaan katanya banyak yang berasal dari bahasa Arab. Arkeolog itu juga menemukan tulisan tua Islami di beberapa tempat seperti di California.
Di Kabupaten Inyo, negara bagian California, Fell juga menemukan tulisan tua lainnya yang berbunyi ‘Yasus bin Maria’ yang dalam bahasa Arab berarti “Yesus, anak Maria”. “Ini bukan frase Kristen,” cetus Fell. Faktanya, menurut dia, frase itu ditemukan dalam kitab suci Alquran. Tulisan tua itu, papar dia, usianya lebih tua beberapa abad dari Amerika Serikat.
Arkeolog dan ahli bahasa itu juga menemukan teks, diagram, serta peta yang dipahat di batu yang digunakan untuk kepentingan sekolah. Temuan itu bertarikh antara tahun 700 hingga 800 M. Teks serta diagram itu berisi mata pelajaran matematika, sejarah, geografi, astronomi, dan navigasi laut. Bahasa pengajaran yang ditemukan itu menggunakan tulisan Arab Kufi dari Afrika Utara.
Sejarawan seni berkebangsaan Jerman, Alexander Von Wuthenau, juga menemukan bukti dan fakta keberadaan Islam di Amerika pada tahun 800 M hingga 900 M. Wuthenau menemukan ukiran kepala yang menggambarkan seperti bangsa Moor. Itu berarti, Islam telah bersemi di Amerika sekitar separuh milenium sebelum Columbus lahir.
Dia juga menemukan ukiran serupa bertarik 900 M hingga 1500 M. Artifak yang ditemukan itu mirip foto orang tua yang biasa ditemui di Mesir. Youssef Mroueh dalam tulisannya Muslim in The Americas Before Columbus memaparkan penuturan Mahir Abdal-Razzaaq El, orang Amerika asli yang menganut agama Islam. Mahir berasal dari suku Cherokee yang dikenal sebagai Eagle Sun Walker.
Mahir memaparkan, para penjelajah Muslim telah datang ke tahan kelahiran suku Cherokee hampir lebih dari 1.000 tahun lalu. Yang lebih penting lagi dari sekedar pengakuan itu, kehadiran Islam di Amerika, khususnya pada suku Cherokee adalah dengan ditemukannya perundang-undangan, risalah dan resolusi yang menunjukkan fakta bahwa umat Islam di benua itu begitu aktif.
Salah satu fakta yang membuktikan bahwa suku asli Amerika menganut Islam dapat dilacak di Arsip Nasional atu Perpustakaan Kongres. Kesepakatan 1987 atau Treat of 1987 mencantumkan bahwa orang Amerika asli menganut sistem Islam dalam bidang perdagangan, kelautan, dan pemerintahan. Arsip negara bagian Carolina menerapkan perundang-undangan seperti yang diterapkan bangsa Moor.
Menurut Youssef, pemimpin suku Cherokee pata tahun 1866 M adalah seorang pria bernama Ramadhan Bin Wati. Pakaian yang biasa dikenakan suku itu hingga tahun 1832 M adalah busana Muslim. ”Di Amerika Utara sekurangnya terdapat 565 nama suku, perkampungan, kota, dan pegunungan yang akar katanya berasal dari bahasa Arab,” papar Youssef.
Fakta-fakta itu membuktikan bahwa Islam telah hadir di tanah Amerika, ketika kekhalifahan Islam menggenggam kejayaannya. Hingga kini, agama Islam kian berkembang pesat di Amerika – apalagi setelah peristiwa 11 September. Masyarakat Amerika kini semakin tertarik dan meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar.

Pengaruh Islam di Benua Amerika
Sekali-kali cobalah Anda membuka peta Amerika. Telitilah nama tempat yang ada di Negeri Paman Sam itu. Sebagai umat Islam, pastilah Anda akan dibuat terkejut.
Apa pasal? Ternyata begitu banyak nama tempat dan kota yang menggunakan kata-kata yang berakar dan berasal dari bahasa umat Islam, yakni bahasa Arab.
Tak percaya? Cobalah wilayah Los Angeles. Di daerah itu ternyata terdapat nama-nama kawasan yang berasal dari pengaruh umat Islam. Sebut saja, ada kawasan bernama Alhambra. Bukankah Alhambra adalah nama istana yang dibangun peradaban Islam di Cordoba?
Selain itu juga ada nama teluk yang dinamai El Morro serta Alamitos. Tak cuma itu, ada pula nama tempat seperti; Andalusia, Attilla, Alla, Aladdin, Albany, Alcazar, Alameda, Alomar, Almansor, Almar, Alva, Amber, Azure, dan La Habra.
Setelah itu, mari kita bergeser ke bagian tengah Amerika. Mulai dari selatan hingga Illinois juga terdapat nama-nama kota yang bernuansa Islami seperti; Albany, Andalusia, Attalla, Lebanon, dan Tullahoma. Malah, di negara bagian Washington terdapat nama kota Salem.
Pengaruh Islam lainnya pada penamaan tempat atau wilayah di Amerika juga sangat kental terasa pada penamaan Karibia (berasal dari bahasa Arab). Di kawasan Amerika Tengah, misalnya, terdapat nama wilayah Jamaika dan Kuba. Muncul pertanyaan, apakah nama Kuba itu berawal dan berakar dari kata Quba – masjid pertama yang dibangun Rasulullah adalah Masjid Quba. Negara Kuba beribu kota La Habana (Havana).
Di benua Amerika pun terdapat sederet nama pula yang berakar dari bahasa Peradaban Islam seperti pulau Grenada, Barbados, Bahama, serta Nassau. Di kawasan Amerika Selatan terdapat nama kota-kota Cordoba (di Argentina), Alcantara (di Brazil), Bahia (di Brazil dan Argentina). Ada pula nama pegunungan Absarooka yang terletak di pantai barat.
Menurut Dr A Zahoor, nama negara bagian seperti Alabama berasal dari kata Allah bamya. Sedangkan Arkansas berasal dari kata Arkan-Sah. Sedangkan Tennesse dari kata Tanasuh. Selain itu, ada pula nama tempat di Amerika yang menggunakan nama-nama kota suci Islam, seperti Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina di New York, Medina dan Hazen di North Dakota, Medina di Ohio, Medina di Tennessee, serta Medina di Texas. Begitulah peradaban Islam turut mewarnai di benua Amerika.

Senin, 16 Juni 2008 Fakta Eksistensi Islam di Amerika
T ahun 999 M: Sejarawan Muslim Abu Bakar Ibnu Umar Al-Guttiya mengisahkan pada masa kekuasaan Khalifah Muslm Spanyol bernama Hisham II (976 M -1009 M), seorang navigator Muslim bernama Ibnu Farrukh telah berlayar dari Kadesh pada bulan Februari 999 M menuju Atlantik. Dia berlabuh di Gando atau Kepulauan Canary Raya. Ibnu Farrukh mengunjungi Raja Guanariga. Sang penjelajah Muslim itu memberi nama dua pulau yakni Capraria dan Pluitana. Ibnu Farrukh kembali ke Spanyol pada Mei 999 M.
Tahun 1178 M: Sebuah dokumen Cina yang bernama Dokumen Sung mencatat perjalanan pelaut Muslim ke sebuah wilayah bernama Mu-Lan-Pi (Amerika). Tahun 1310 M: Abu Bakari seorang raja Muslim dari Kerajaan Mali melakukan serangkaian perjalanan ke negara baru. Tahun 1312 M: Seorang Muslim dari Afrika (Mandiga) tiba di Teluk Meksiko untuk mengeksplorasi Amerika menggunakan Sungai Mississipi sebagai jalur utama perjalanannya.
Tahun 1530 M: Budak dari Afrika tiba di Amerika. Selama masa perbudakan lebih dari 10 juta orang Afrika dijual ke Amerika. Kebanyakan budak itu berasal dari Fulas, Fula Jallon, Fula Toro, dan Massiona – kawasan Asia Barat. 30 persen dari jumlah budak dari Afrika itu beragama Islam.
Tahun 1539 M: Estevanico of Azamor, seorang Muslim dari Maroko, mendarat di tanah Florida. Tak kurang dari dua negara bagian yakni Arizona dan New Mexico berutang pada Muslim dari Maroko ini. Tahun 1732 M: Ayyub bin Sulaiman Jallon, seorang budak Muslim di Maryland, dibebaskan oleh James Oglethorpe, pendiri Georgia. Tahun 1790 M: Bangsa Moor dari Spanyol dilaporkan sudah tinggal di South Carolina dan Florida.

Dari: Republika Online 16 Juni 2008

PGRI lahir pada 25 November 1945, setelah 100 hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal organisasi PGRI adalah diawali dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.
Semangat kebangsaan Indonesia telah lama tumbuh di kalangan guru-guru bangsa Indonesia. Organisasi perjuangan huru-guru pribumi pada zaman Belanda berdiri tahun 1912 dengan nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB).

Organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda mereka umumnya bertugas di Sekolah Desa dan Sekolah Rakyat Angka Dua.

Sejalan dengan keadaan itu maka disamping PGHB berkembang pula organisasi guru bercorak keagamaan, kebangsaan, dan yang lainnya.

Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah Kepala HIS yang dulu selalu dijabat orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini makin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kesadaran. Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak

Pada tahun 1932 nama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) diubah menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda, karena kata “Indonesia” yang mencerminkan semangat kebangsaan sangat tidak disenangi oleh Belanda. Sebaliknya, kata “Indonesia” ini sangat didambakan oleh guru dan bangsa Indonesia.

Pada zaman pendudukan Jepang segala organisasi dilarang, sekolah ditutup, Persatuan Guru Indonesia (PGI) tidak dapat lagi melakukan aktivitas.

Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 – 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah – guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 – seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia – Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tangan bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan :
1. Memepertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia;
2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan;
3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.

Sejak Kongres Guru Indonesia itulah, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).

Jiwa pengabdian, tekad perjuangan dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan negara kesatuan republik Indonesia. Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, independen, dan tidak berpolitik praktis.

Untuk itulah, sebagai penghormatan kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional, dan diperingati setiap tahun.

Semoga PGRI, guru, dan bangsa Indonesia tetap jaya dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6050131

DALAM kegiatan pembelajar tiga komponen utama, guru, bahan pembelajaran, dan siswa saling berkaitan dalam mencapai tujuan pendidikan. Hilang atau timpangnya satu ‘tiga tungku’ tersebut akan berakibat gagalnya pencapaian tujuan. Dengan kata lain, ketiganya harus saling bersinergi dalam mencapai tujuan.

Sepanjang sejarahnya, pergeseran empasis dalam nemandang ketiga komponen tersebut bisa saja terjadi. Sebagaimana dikatakan Lapp (1975: 3): “some times ‘content’ will dominate, some times either ‘teacher’ or ‘student’ will dominate”. Perubahan empasis terjadi berdasarkan pandangan dan tujuan yang dicapai.

Apa pun aanlisisnya, untuk mencapai tujuan pembelajarn, peran guru sangat penting. Karena itu perlu dikaji profil guru itu sendiri serta perannya. Menurut T. Raka Joni (1983), dalam sejarahnya, setidaknya ada tiga pandangan mendasar terhadap guru, yaitu:

Pertama, guru dipandang sebagai orang mempelajari ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu. Guru adalah semua orang yang mempelajari sesuatu dan dapat kembali mengajarkannya, tanpa harus menjalani pendidikan guru. Artinya, siapa saja yang menguasai ilmu tertentu dan mengajarkannya adalah guru.

Kedua, guru dipandang sebagai orang yang menguasai bahan yang akan diajarkannya tanpa memperhatikan kemampuan menyampaikan secara baik. Jadi tekanannya pada penguasaan bahan yang akan diajarkan, dan sama dengan tahap pertama, guru juga tidak harus menguasai tentang bagaimana mengajarkannya atau menyampaikan secara baik.

Ketiga, selain dituntut menguasai bahan, guru juga dituntut menguasai prinsip-prinsip dan teknologi pendidikan agar dapat menunaikan tugasnya sebagai pendidik. Dengan kata lain, guru harus menguasai ilmu atau bahan pengajaran dan bagaimana mengaj arkan atau menyampaikannya agar tujuan pendidikan tercapai.

Perubahan pandangan tentang guru dan peranan guru itu sendiri berdasarkan keadaan obyektif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat dimana guru tidak dapat lagi mengandalkan apa yang dipelajarinya saja.

Kalau pada awalnya guru dipandang sebagai sumber yang serba tahu hingga orientasi PBM “teacher centered”, sekarang ini hal tersebut tidak mungkin lagi. Guru sudah tidak mungkin mengumpul semuanya. Artinya, guru membaginya dengan siswa. Pandangan “student centered” adalah orientasinya. Guru dituntut untuk membelajarkan siswa guna mencapai perkembangan optimal (Parawansa, 1988& 15).

Asumsi dasarnya siswa bersekolah membawa atau telah mempunyai potensi cipta, rasa dan karsa atau menurut Bloom (1956) potensi kognitif, afektif dan psikomotorik hingga guru bertugas membantu mengembangkan potensi-potensi bawaan siswa tersebut. Potensi siswa tersebut yang harus dibantu pengembangannya oleh guru hingga siswa merupakan “centre of activity” .

Pandangan ini lebih maju, baik dalam menempatkan siswa dalam konteks PBM maupun dalam melihat peranan guru dimana guru bukan sekedar pelaku “transfer of knowledge” peran guru bukan berarti makin “menyempit” melainkan tetap penting sebab gurulah yang ‘mengatur’ lingkungan hingga terjadi proses belajar (Nasution, 1982: 8). Peranan guru tetap saja penting (Sutisna, 1983: 109).

Dalam kerangka demikian, guru tidak hanya berperan sebagai pengajar dalam artian alih pengetahuan-pengetahuan (Hasan, 1988: 9) tetapi sebagai motivator, fasilitator, pembimbing, evaluator, pengembang materi pelajaran, pengelola PBM, dan agen pembaharuan (Darmodiharjo, 1983, Shabuddin, 1985, Parawansa dan Abdullah, 1988: 16-22).

Sebagai motivator guru membangkitkan semangat dan kesadaran siswa agar belajar tidak cukup di kelas saja. Penguasaan materi tidak hanya mengandalkan kehebatan guru di kelas; siswa harus mencari dari sumber sumber di banyak tempat. Guru membangkitkan agar semangat belajar siswa di dalam dan di luar kelas selalu menyala-nyala. Guru memberi motivasi pembelajaran.

Sebagai fasilitator guru memberikan kemudahan-kemudahan bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar atau memberikan jalan ke arah pendalaman bagi siswa yang pandai. Hal ini berdasarkan kenyataan dimana potensi dan prestasi siswa sangat beragam dan guru dapat melayani kebutuhan sesuai kemampuan siswa. Guru tidak berprinsip, semua siswa sama saja potensinya. Karena itu, perhatian diberikan merata. Itu guru kuno.

Sebagai pembimbing guru berperan memberikan perhatian kepada siswa-siswa yang mendapatkan kesulitan dalam belajar ataupun dalam memberikan jalan keluar atas segala bentuk hambatan-hambatan yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan. Kesemua itu dilakukan guru dalam upaya mencapai tujuan pelajaran agar tercapai.

Sebagai evaluator guru mengetahui penguasaan dan kemampuan siswa. Berdasarkan evaluasi secara keseluruhan, guru dapat memberikan motivasi, fasilitas atau pun bimbingan yang tepat. Evaluasi penting artinya untuk mendayagunakan segala kemampuan, sarana dan prasarana, situasi dan kondisi untuk PBM agar tujuan tercapai.

Sebagai pengembang materi pelajaran guru dituntut untuk meraih pacuan perkembangan ilmu dan teknologi hingga yang disajikan bukan bahan pelajaran yang itu ke itu saja dari tahun ke tahun. Dengan kata lain, guru dituntut memperkaya, merevisi, menyesuaikan ilmu pengetahuan dan teknologi hingga apa yang disajikan tidak tertinggal dari kemajuan yang beg itu pesat.

Sebagai pengelola kegiatan PBM guru harus mampu mengerahkan semua sumber, mendayagunakan potensi, fasilitas dan hal-hal terkait lainnya. Untuk itu guru harus mempunyai seperangkat kemampuan yang selalu ditingkatkan sesuai kemajuan ilmu dan teknologi ataupun temuan-temuan baru dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini guru dituntut kemampuan dan keterampilannya dalam merencanakan, mengelola, melaksanakan dan evaluasi untuk PBM berikutnya hingga pengelolaannya dapat makin disempurna dari waktu ke waktu dalam mencapai hasil yang lebih baik.

Sebagai agen pembaharuan guru dituntut aktif mengambil inisiatif dan kreatif agar dapat membuat pembaharuan-pembaharuan pendidikan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecenderungan perubahan yang bakal terjadi di masyarakat; guru dengan inisiatif dan kreativitasnya dapat dijadikan teladan oleh siswa dalam menghadapi berbagai perubahan di masyarakat.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa peran guru begitu penting dan luas; tidak hanya sebagai “pemindah”, pelestasri atau pemapanan yang telah ada tetapi membantu ngembangkan potensi siswa seoptimal mungkin serta dapat mengantipasi perkembangan dan kecenderungan di masyarakat.

Bagaimana menurut Sampeyan

Dikutip dari Ersis Warmansyah Abbas, Banjarbaru, 6 Juni 2009.

Tugas:

Buat kesimpulan tentang guru profesional yg ditulis oleh Ersis Warmansyah Abbas di atas?

Catatan: Diketik 2 spasi, diprint out, tgs individu, dikumpulkan 1 mggu setelah mendapat SMS.

Oleh

Syaharuddin, S.Pd.,M.A., dan Ella Agustina S.Pd., M.Pd.

Meningkatkan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di antaranya melalui meningkatkan kualifikasi pendidikan guru, meningkatkan manajemen sekolah ataupun melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Tentu ketiga hal itu merupakan komponen utama dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan saat ini dan akan datang.

Membangun pendidikan atau sebuah satuan pendidikan dari tingkat dasar (SD) maupun menengah (SMA dan SMA) yang berkualitas tidaklah semudah membalik telapak tangan. Untuk memeroleh hal itu, kiranya diperlukan sinergi yang baik antara pihak komite sekolah (sebagai perwakilan masyarakat) dan kepala sekolah beserta para jajarannya (para gurunya). Tanpa melakukan hal itu, kami yakin sebuah sekolah tidak akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan atau meningkatkan out putnya yang lebih baik. Kedua entitas tersebut tampaknya sulit untuk dipisahkan ketika kita bermaksud membangun sebuah pendidikan yang bermutu. Sinergitas antara komite sekolah dan kepala sekolah pada sebuah sekolah dalam hal ini sangat dibutuhkan.

Kenyataan yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini, yaitu kedua entitas tersebut kadang tidak saling bersinggungan dan justru bertolak belakang. Hal ini biasa terjadi di sekolah manapun di negeri ini. Tidak diketahui dengan pasti apa yang menyebabkan demikian. Yang jelas, kadang dan sangat banyak antara komite sekolah dan kepala sekolah (beserta jajarannya) tidak sejalan dalam menjalankan program sekolah.

Satu sisi Kepala Sekolah bertanggung jawab atas seluruh pengelolaan sekolah, baik yag bersifat internal maupun eksernal sekolah, namun satu sisi pula, komite berhak memberikan berbagai pertimbangan atas rancangan yang dibuat oleh kepala sekolah beserta jajarannya. Jika saja keduanya tidak bersinergi tentu akan sulit memeroleh hasil yang memuaskan dalam sebuah program yang akan dilaksanakan. Karena itu, diperlukan pemahaman yang sama tentang apa saja yang menjadi peran dan fungsi komite sekolah dan begitu pula kepala sekolah.

Paling tidak terdapat empat peran komite sekolah, yaitu: (a) Sebagai lembaga pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan; (b) Sebagai lembaga pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam menyelenggarakan pendidikan di satuan pendidikan; (c) Sebagai lembaga pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan; (d) Sebagai lembaga mediator (mediator agency) antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.

Peran komite sekolah sebagai lembaga pertimbangan dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan memberikan arti bahwa, setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kepala sekolah harus melalui pertimbangan dari komite sekolah. Peran komite sekolah sebagai advisory agency ini mencerminkan sebuah harapan sinergitas antara kepala sekolah dan komite sekolah. Tanpa melakukan hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap out put sebuah program yang akan dijalankan.

Kemudian, peran sebagai pendukung, baik dari segi financial, pemikiran maupun tenaga mutlak dilakukan untuk menghasilkan sebuah program yang baik dan bermutu pada sebuah sekolah. Faktanya, beberapa sekolah maju di Pulau Jawa justru karena adanya dukungan dari komite, yaitu dukungan dari orang tua/wali murid baik dalam bentuk pemikiran maupun financial. Kedua hal ini merupakan hal yang sangat urgen. Pemahaman bersama akan hal ini akan berdampak terhadap pengembangan sekolah ke depan.

Berdasarkan keterangan di atas, maka sesungguhnya tidak ada istilah ‘sekolah gratis’. Mungkin lebih tepat disebut subsidi silang. Bagi mereka yang kaya wajib membayar lebih banyak , sedangkan bagi yang miskin tidak perlu banyar, alias gratis. Pada kenyataannya, sangat banyak sekolah yang membuat label ‘pendidikan gratis’, namun tidak tepat sasaran. Maksudnya, ternyata banyak anak orang kaya justru mencari sekolah gratis. Hal ini tentu menjadi sebuah keprihatinan kita bersama. Seharusnya mereka yang berpunya secara ikhlas menyumbangkan sebagian hartanya untuk pengembangan pendidikan, bukan justru mencari sekolah gratis. Sebuah ironis memang, tapi , itulah fakta yang terjadi dalam masyarakat kita. Parahnya lagi, para orang tua memperlihatkan kekayaannya melalui HP anak-anaknya. Walaupun ada aturan yang melarang membawa HP yang mahal, namun tetap saja tidak digubris. Mungkin itulah gambaran sebuah masyarakat yang tidak peduli akan pendidikan.

Peran terkahir yaitu sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. Kami kira peran ini belum begitu maksimal. Peran ini justru lebih banyak dilakukan oleh kepala sekolah. Seharusnya kedua lembaga ini bekerjasama dalam rangka mencari dukungan, khususnya dana dalam rangka pengembangan sekolahnya. Bisa dengan cara mencarikan bea siswa bagi siswa yang kurang mampu, ataupun mencari donatur untuk ikut membantu sekolah. Peran ini sangat strategis jika dijalankan dengan baik. Tentu diperlukan sinergitas antara Kepala Sekolah dan Komite Sekolah dalam menjalankannya.
Sedangkan fungsi komite sekolah yaitu: (a) Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (b) Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi, Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI); dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan bermutu; (c) Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (d) Memberikan masukan, pertimbangan dan rekomendasi kepada sekolah mengenai: kebijakan dan program pendidikan, seperti Rencana Anggran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS); (e) Mendorong orang tua siswa dan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan; (f) Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah; (g) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program penyelenggraan, dan keluaran pendidikan pada sebuah sekolah.

Peran dan fungsi tersebut tentu akan sangat bermanfaat bagi sekolah jika dijalankan dengan baik. Sinergitas antara kepala sekolah dan komite sekolah, tampak menjadi sesuatu yang mutlak untuk dilakukan dengan penuh kesadaran. Tanpa hal itu, maka mustahil rasanya untuk menggapai sebuah mimpi pendidikan yang bermutu. Mungkin kita harus mulai lagi membaca, menelaah dan menyadari bersama apa sebenarnya peran dan fungsi komite sekolah. Dengan itu, peningkatan mutu pendidikan semoga dapat diperoleh.

Penulis adalah staf pengajar FKIP Unlam Banjarmasin dan Staf LPMP Kalsel Banjarbaru, email: fikri_025@yahoo.co.id. Blog: http://www.syaharuddin.wordpress.com.fb: syaharuddinarafah@yahoo.com.

Alhamdulillah, tidak terasa Ramadhan sudah memasuki 10 hari kedua. Berarti pula 10 hari pertama telah kita lewati yang mudah-mudahan kita juga berhasil memeroleh kasih sayang (rahman) Allah sebagaimana dijanjikan (awwalu rahmah). 10 hari kedua adalah waktu dimana sangat dianjurkan untuk memohon ampun kepada Allah (Allahummaghfirli zunubi ya rabbal aalamin). Insya Allah, jika kita bersungguh-sungguh memohon ampunan kepada Allah (taubatan Nashua)atas dosa-dosa yang telah lalu, maka Allah akan mengampuni, dengan catatan kita tidak memiliki dosa dengan sesama. Jika terdapat dosa dengan sesama, misalnya dengan keluarga (khususnya kedua orang tua), tetangga dan teman-teman kita maka harus terlebih dulu meminta maaf kepada mereka itu. Apalagi bulan Ramadhan adalah momentum untuk saling memaafkan, karena ada kecenderungan jika orang sedang berpuasa tidak ingin ada masalah, sehingga kemungkinan untuk saling memaafkan itu terbuka sangat lebar. Itulah salah satu tafsir hadist yang mengatakan bahwa, ketika Ramadhan tiba, maka pintu-pintu sorga dibuka dan sebaliknya pintu neraka ditutup. Artinya, sungguh banyak orang melakukan kebajikan untuk mencapai sorga dan meninggalkan berbagai larangan Allah untuk terhindar dari api Neraka.

Pada 10 hari kedua ini, maka terdapat satu peristiwa yang tentu kita telah mengetahui bersama, yakni “Malam 17 Ramadhan”, dimana Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Alquran adalah mu’jizat terbesar dan terdahsyat bagi umat Islam. Ada beberapa alasan mengapa demikian. Yang paling penting adalah bahwa Alquran adalah petunjuk atau pedoman hidup bagi manusia (hudallinaas).

Ibarat seseorang membeli HP baru, maka untuk megoperasionalkannya maka ia harus terlebih dulu membaca buku petunjuknya. Satu demi satu dibaca. Bagaimana cara meng-charger, bagaimana cara memutar video, merekam, mengirim pesan, dan sebagainya. Tentu hal itu dilakukan agar HP yang baru ia beli tidak rusak, karena digunakan sebagaimana petunjuk yag telah ditentukan.

Begitulah fungsi Alquran. Ia adalah petunjuk hidup manusia. Ia menjadi penunjuk arah ketika seorang Muslim mengalami kesesatan. Hal ini sangat sesuai dengan hadist Rasulullah, yakni “kutinggalkan dua pusaka kepadamu, yang mana pusaka ini tidak akan membuatmu tersesat selama-lamanya yakni Kitabullah (Alquran) dan Sunnaturrasul.

Fenomena di masyarakat, banyak orang yang menjalankan hidupnya tidak dengan berpedoman dengan Alquran dan Assunah. Tetapi berpedoman kepada isme lain, misalya marxisme, sosialisme dan kapitalisme. Memang kewajibannya sebagai seorang Muslim seperti sholat lima waktu, puasa Ramadhan, berzakat dan berhaji ia lakukan, akan tetapi sebagian hidupnya lagi tidak berdasarkan Alquran dan Assunnah. Hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah yang menegaskan bahwa seorang Muslim itu harus menjalankan Islam secara totalitas (kaafah). Sebagai contoh, ketika ia bermuamalat (melakukan hubungan dengan sesama manusia, misalnya jual beli (ekonomi) , politik, dan budaya) mereka tetap menjalankan riba. Padahal jelas dalam Alquran, Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Contoh lain, mereka tahu ketika seorang Muslim terpilih menjadi anggota dewan (baik DPR maupun DPRD dan DPD), maka seharusnya ia menjalankan amanah rakyat, seharusnya merakyat dan amanah. Kenyataannya, banyak diantara mereka ketika duduk empuk di kursi majelis lupa kalau ia bisa duduk di kursi itu karena adanya kepercayaan rakyat yang dibebankan kepadanya. Bahkan kadang ada yang menggunakan ilmu “mumpung”. Mumpung jadi anggota dewan maka aku akan mencari relasi sebanyak-banyaknya untuk melebarkan bisnis. Mumpung aku jadi pejabat maka aku akan berusaha memperkaya diri, keluarga dan teman-teman (KKN), dst.

Inilah salah satu tafsir dari sekularisme. Yakni, ketika seorang Muslim tidak berusaha menghubungkan antara ajaran Islam dan aktivitas manusia, khususnya dalam bermuamalat. Padahal Alquran telah mengatur semua, dan dijelaskan secara detail melalui sunnah-sunnah rasul. Satu kesalahan besar ketika ada orang yang memahami bahwa agama adalah urusan akherat semata-mata, dan aktivitas dunia (khususnya dalam berekonomi, berpolitik, berbudaya) adalah urusan manusia itu sendiri. Di dalam kajian sejarah sangat jelas, bagaimana Rasulullah memperaktikkan kehidupan Islami sejak periode Mekkah lebih-lebih pada periode Madinah. Sebuah indikasi bahwa Islam (yang berpedoman kepada Alquran dan Alhadist) tidak dijalankan secara parsial an sich. Ia adalah satu sistem kehidupan yang maha sempura untuk mengatur kehidupan manusia sejak urusan yag paling sederhana sekalipun.

Melihat fenomena tersebut, maka beberapa solusi ditawarkan. Pertama, Alquran wajib dijadikan pedoman hidup agar manusia tidak tergelincir dalam kehidupan dunia dan untuk mecapai kebahagiaan hidup di akherat kelak. Kedua, Alquran adalah petunjuk hidup manusia yang sempurna, sehingga tidak perlu memilah-milah. Di sana telah diatur tentang masalah-masalah ekonomi (untuk mengentaskan kemiskinan dengan konsep zakat misalnya). Masalah sosialisme (yakni berempati kepada kaum dhuafa atau hablumminannaas). Ketiga, tahapan memahami Alquran yakni dimulai dengan mempelajarinya, kemudian memahaminya lalu mengamalkannya. Tentu tahapan ketiga adalah tahapan tertinggi, yakni berupaya mengamalkan seluruh isi Alquran.

Demikian sekelumit tentang bagaimana mempedomani Alquran dalam berkehidupan. Tulisan ini muncul dalam rangka memperingati turunnya Alquran atau Nuzulul Quran malam 17 Ramadhan. Hal ini penting disampaikan untuk menyadarkan kembali bagi mereka yang mungkin lupa fungsi Alquran. Atau mengingatkan lagi bagi mereka yang selama ini mejadikan Alquran hanya sebagai hiasan lemari dan rak buku. Semoga dengan berpedoman dengan Alquran, hidup kita dapat menemukan kebahagiaan, sebagaimana yang diidamkan bersama. Hidup bersama Alquran berarti segala apa yang kita pikirkan dan lakukan dalam beraktivitas sehari-hari baik dalam kehidupan individu maupun sosial (kelompok) selalu berdasarkan apa yang telah digariskan dalam Alquran da Assunnah. Kalau demikian, maka harapannya semoga kita termasuk Muslim yang berIslam secara kaafah. Amin.

Penulis adalah warga FKIP Unlam tinggal di Mustika Graha Asri Banjarbaru, email:fikri_025@yahoo.co.id. Blog. http://www.syaharuddin.wordpress.com, fb:syaharuddinarafah@yahoo.com

Puasa di bulan Ramadhan bisa diibaratkan sekolah khusus yang ajaran barunya selalu dibuka setiap tahun dengan tujuan pendidikan praktis dalam menyerap nilai-nilai yang paling tinggi. Barangsiapa memasukinya untuk mendapatkan karunia Ilahi, kemudian ia berpuasa sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, lalu ia dapat melakukan ibadah tambahan sesuai yang telah disyariatkan, maka ia akan lulus dengan menyandang gelar muttaqin. Dengan gelar muttaqin orang akan mendapatkan jaminan ampunan dari Allah SWT dan terbebas dari api neraka.

Rasulullah SAW menegaskan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, niscaya Allah mengampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa melakukan amal ibadah tambahan (sunah) di bulan Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari Muslim).

DR. Raghib As-Sirjani dalam kitabnya ‘Ramadhan wa Bina’ul Ummah’ mengatakan, ada beberapa sisi pendidikan dalam puasa Ramadhan. Pertama, Ramadhan mendidik kaum muslimin untuk memenuhi perintah-perintah Allah SWT secara totalitas. Karenanya, tidak pantas seorang muslim jika selesai Ramadhan ketika mendengar salah satu hukum Allah SWT, atau mengetahui salah satu hukum Rasulullah SAW, ia memperdebatkannya.

Allah SWT mencintai hamba-hambaNya yang tunduk kepada-Nya tanpa membantah dan menaati-Nya tanpa ada keraguan. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, ”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36).

Kedua, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar menundukkan syahwatnya. Ketika Ramadhan kaum muslimin dilarang melakukan hal-hal yang pada hakikatnya halal bila dilakukan pada siang hari di selain Ramadhan. Seperti makan, minum, dan berhubungan suami-istri. Karenanya, seseorang yang telah mendapatkan pendidikan Ramadhan, maka ia akan lebih mampu untuk menahan diri dari makanan dan minuman yang tidak jelas asal-usulnya, serta mampu untuk menjaga diri dari pergaulan lawan jenis yang diharamkan. Puasa, pada hakikatnya adalah memutus dominasi syahwat. Syahwat bisa kuat dengan makan dan minum, dan setan selalu datang melalui pintu-pintu syahwat. Maka dengan berpuasa syahwat dapat dipersempit geraknya.

Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai para pemuda barangsiapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah, sesungguhnya nikah itu bisa menahan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa itu sesungguhnya bisa mengendalikan syahwat.”

Ketiga, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar mengendalikan sifat terburu nafsu serta memiliki kesanggupan untuk menahan amarah. Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman, ”Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Karena, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Maka, apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, bersuara tidak pantas, dan tidak mau tahu. Lantas jika ada seseorang yang menghinanya atau memeranginya (mengajaknya berkelahi), maka hendaklah ia mengatakan, ’Sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari Muslim).

Keempat, Ramadhan mendidik kaum muslimin untuk senang berinfak. Ramadhan mampu membentuk jiwa orang yang berpuasa menjadi dermawan dengan memberikan kebaikan kepada orang lain. Rasulullah SAW bersabda, ”Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan, yaitu ketika Jibril menemuinya. Jibril selalu menemuinya setiap malam bulan Ramadhan, lalu memantau bacaan Al-Qur’an beliau. Pada saat ditemui Jibril, Rasulullah lebih dermawan dengan penuh kebaikan (lebih cepat) daripada angin yang ditiupkan.” (HR. Bukhari Muslim).

. Kelima, Ramadhan mendidik kaum muslimin agar memiliki rasa persatuan, persaudaraan, dan kasih sayang. Segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia akan berpuasa pada hari yang sama dan berbuka pada hari yang sama pula. Mereka akan mulai berpuasa pada saat yang sama, ketika fajar, dan berbuka di saat yang sama pula, yaitu ketika maghrib. Ramadhan tidak membedakan antara yang kaya dan miskin, penguasa dan rakyat biasa. Sungguh luar biasa, ada jiwa kebersamaan yang memasuki hati kaum muslimin pada bulan Ramadhan.

Keenam, Ramadhan mendidik kaum muslimin merasakan penderitaan dan kesulitan orang lain. Kaum muslimin merasakan penderitaan lapar dan dahaga untuk waktu tertentu pada siang Ramadhan. Ia merasa lapar dan menderita seperti yang sering dirasakan fakir miskin atau seperti yang dikatakan Ibnu Qayyim, ”Puasa dapat mengingatkan bagaimana rasanya perut keroncongan dan dahaga yang membakar dan sering dirasakan para fakir miskin”. Sehingga, di saat ia melihat orang lain serba kekurangan, maka tersentuhlah hatinya untuk berbagi kepada mereka.

Dan, ketujuh, Ramadhan mendidik ketakwaan dalam hati kaum muslimin. Sebab, tujuan yang ingin dicapai dari ibadah puasa adalah untuk membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa, yakni pribadi yang mampu menghadirkan Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya. Dengan kehadiran Allah SWT dalam setiap aktivitas dan perilakunya, maka orang tersebut akan senantiasa terbimbing dari perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya.

Setelah sebulan penuh dididik Ramadhan, ilmu pun didapat, maka langkah selanjutnya adalah mengamalkannya di sebelas bulan berikutnya. Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmunya demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya. Perintah belajar dan menuntut ilmu bertujuan meningkatkan kuantitas dan kualitas amal muslim. Dengan amal itu pula, muslim memperoleh kebahagiaan di dunia dan selamat di akhirat.

Karenanya, hakikat dari belajar atau menuntut ilmu adalah perubahan, dari yang tidak tahu menjadi tahu, dan setelah mengetahui kemudian mengamalkannya. Sedangkan manusia yang tidak mampu lagi berubah (setelah belajar/menuntut ilmu) sejatinya ia telah mati. Oleh karena itu, jadilah manusia pembelajar, karena dengan belajar berarti akan ada perubahan, perubahan adalah keniscayaan, karena orang yang cerdas (sang pembelajar) adalah orang yang jeli untuk mengetahui dan mengakui kelemahan dirinya. Dari kesadaran tersebut, ia perbaiki dirinya agar selanjutnya ia dapat melakukan yang terbaik dalam hidup ini.

Sungguh, puasa mampu membentuk manusia baru, Rasulullah SAW bersabda, ”Barangsiapa berpuasa dengan niat mencari pahala dari Allah SWT, maka ia keluar dari bulan Ramadhan sebagaimana bayi baru lahir. Wallahu a’lam.

Dikutip dari blog Imam Centre

RISET PENERBITAN BUKU

Akan diterbitkan oleh: KalamNusantara@2010

Prolog

Kemerdekaan menggerakan kita dengan janji yang kurang jelas. Negara (Indonesia) membimbing kita pada ujung yang kabur. Tetapi, kemerdekaan dan negara Indonesia telah menjadi candu. Sebuah candu yang menghasilkan revolusi. Padahal, revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna, demikian tulis Goenawan Mohamad [2008].

Mungkin inilah yang menyebabkan dongeng kita tentang tujuan kemerdekaan (bernegara) tak mendekati kenyataan. Padahal, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, tujuan merdeka adalah mengadakan pemerintahan negara guna melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tetapi kenyataannya sebaliknya (kemiskinan, kebodohan, kekacauan dan kekerasan) makin merajalela.

Laporan indeks pembangunan manusia (IPM 2009) menyebut bahwa rangking kita adalah nomor 111 dari 179 negara. Selalu merosot tiap tahun karena kesenjangan melebar, kesehatan menurun, PDB tak berkwalitas dan kartel korup di istana-tangsi tentara dan perpol. Bappenas juga menungkap bahwa tiga agenda dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional [RPJMN 2004-2008] berupa pengentasan kemiskinan, penganguran dan pertumbuhan investasi ”gagal dicapai pemerintah.” Kita baru berhasil menekan tingkat pengangguran per Agustus 2007 sampai 9.11%. Sementara tingkat kemiskinan mencapai mencapai 16.58%. Angka-angka ini menunjukan dengan jelas bahwa problem utama pasca kemerdekaan masih sama dengan pra merdeka.

Mengapa setelah 63 tahun ini masih terjadi? Ada banyak jawaban. Tetapi dari beberapa itu, berdasarkan studi postkolonial, kita dapat merangkumnya menjadi tiga. Pertama, persoalan mental. Setelah sekian tahun kita dijajah secara fisik oleh kolonialis Belanda, yang tersisa adalah mental inlander. Sebuah mental warisan Belanda yang mengembangkan kepatuhan, anti kritis, ikut yang menang, memuja ambtenarisme [pseudo feodalism], menunggu imam mahdi, mempersulit yang mudah, mudah menyerah, bahagia melihat temannya menderita dan sengsara melihat temannya bahagia, membela yang bayar serta birokratis.

Mental ini tumbuh dan berkembang lalu berurat berakar dalam kehidupan kita. Makannya, jiwa wirausaha dan perdagangan kurang berkembang. Yang jadi andalan adalah jiwa pegawai negeri, ambtenar [PNS, pelayan]. Buktinya, berbondong-bondong masyarakat kita melamar jadi PNS tiap tahun. Mereka bahkan rela melakukan KKN demi martabat pegawai yang disandangnya. Setelah menjadi PNS, aparat pegawai kita rela membuat UU yang merugikan bangsa sendiri dengan menyerahkan harta kedaulatannya menjadi milik asing. Produk dan keputusan-keputusan pemerintahan kita pro-asing (pemodal: yang bayar).

Selebihnya—pada wilayah pendidikan—sebagai tempat penempa mental, kita seperti terperangkap pada keinginan menciptakan mesin dan bukan menciptakan manusia bermoral. Sarjana pencari kerja bukan pencipta lapangan pekerjaan. Akibatnya, para sarjana yang kita miliki lebih berorientasi menjadi komprador yang melayani kepentingan-kepentingan pemodal dan majikan asing. Sarjana kita gagal membentuk aliansi strategis dengan mental baja bahwa ’bangsa kami bisa dan mampu.’ Sarjana kita banyak memaki daripada mencari sebab dan memberi solusi. Memang tidak semua, tetapi yang berkuasa dan duduk di pemerintahan hari ini adalah bermayoritas mental demikian.

Atas tradisi di atas itulah, Onghokham [1998] menulis bahwa ’hampir semua kekuasaan kolonial di Indonesia didapat dari kontrak perdagangan yang merugikan, bukan dari invasi dan perang militer yang dahsyat.’ Uang (sogok) dan strategi kuasa atas perdaganganlah yang sering dilakukan oleh kolonial terhadap bangsa ini. Lalu, perilaku kolonial itu dikuatkan oleh elit kita yang bermoral hit-man.

Kedua, tidak terpenuhinya prasyarat kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan di negeri ini jika bukan arena kudeta (militer) maka yang ada adalah pemimpin ritual (keagamaan). Pada pemimpin yang seperti itu, gagasan dan tindakannya tidak mencerminkan kesatuan yang utuh atas visi-misi yang diembannya. Yang menonjol adalah motif-motif kuasa atas kekuasaan, kekayaan dan martabat dilayani.

Kita tidak mendapati pemimpin yang mengharamkan KKN dan anti tahta, harta dan wanita/pria (crank, asketis). Artinya, bagi banyak pemimpin kita, tahta, harta dan wanita/pria adalah tujuan. Makin langgeng tahtanya, makin banyak hartanya, dan makin banyak simpanan wanitanya maka ia merasa makin hebat. Entah hebat buat siapa, selain hebat untuk dirinya. Entah mengapa, pemimpin kita lebih banyak yang berperilaku seperti ini. Entah mengapa pemimpin kita tidak belajar dari keruntuhan kerajaan-kerajaan masa lalu yang pernah hidup di Indonesia. Entah mengapa pemimpin kita suka masuk lubang yang sama dengan para pendahulunya yang mereka kritik sebelum berkuasa. Tentu saja, pemimpin yang seperti ini memiliki arah dan strategi pembangunan yang tidak pas dan memihak kaum miskin. Sebaliknya, arah dan strategi pembangunan mereka hanya ’memuaskan segelintir orang’ dengan mematikan banyak orang. Singkatnya, arah kebijakan kita tak berarah rakyat, strategi kita tanpa strategi yang dahsyat.

Ketiga, negara kita terlalu makmur dan kaya SDA. Dengan luas dan panjang yang sangat besar plus terdiri dari pulau-pulau yang berjuta maka kekayaan SDA kita makin melelapkan penghuninya. Kita memiliki semua SDA yang ada di dunia. Bahwa faktanya sekarang kita tidak memiliki apa-apa, itu soal lain. Tetapi sindrom orang kaya tetap menjadi ’problem utama’ bagi seseorang untuk merdeka. Karena itu negeri ini menjadi miskin di tengah kekayaan yang melimpah. Banyak orang mati di lumbung padi. Banyak orang kecelakaan di jalan beraspal-berlobang di tengah kita sebagai penghasil aspal terbanyak di dunia.

Inilah unholly trinity yang sedang kita jalani. Mental buruk, pemimpin jelek dan kekayaan tak terkelola. Mereka tidak suci tetapi diimani oleh sebagian rakyat kita. Meraka merusak tetapi dipelihara oleh banyak rakyat kita. Mereka menipu rakyat tetapi dipilih saat pemilu dilakukan (kadang berulang). Mereka tak bekerja maksimal tetapi menjadi penguasa. Mereka menjauhkan ucapan dari tindakan tetapi Tuhan menganugerahinya garis tangan yang menentukan.

Karena itu, riwayat kemerdekaan kita tidak pernah lepas dari riwayat kelakuan busuk elitnya. Tetapi ingat bahwa, riwayat kelakuan busuk elitnya tak pernah lepas dari riwayat kelakuan pragmatis rakyat yang memilihnya. Riwayat kelakukan pragmatisme rakyatnya, tak pernah lepas dari riwayat warisan kolonial yang merusak. Riwayat kolonial yang merusak, tak pernah lepas dari riwayat elite kita yang menghamba dan menjadi ’komprador asing.’ Riwayat komprador asing, tak pernah lepas dari riwayat KKN diri dan keluarganya. Meraka menjadi sejarah yang secara geneologis bersumber dari Ken Arok dan Malin Kundang. Pada Ken Arok kita mendapati geneologi kisah menghalalkan segala cara, sedang pada Malin Kundang kita mewarisi sikap amoral.

Singkatnya, kita tak memiliki satu alat pun di tangan untuk mengelola negara (bekas) terjajah menjadi merdeka, mandiri dan modern. Selebihnya, kemerdekaan kita masih dihuni oleh partai politik yang tak terorganisasi dengan baik, diisi dengan birokrasi yang buruk, dijiwai agama pengemis, dilengkapi dengan angkatan bersenjata yang korup dan beraninya melawan warganya sendiri. Dengan kondisi begini, yang subur hanya daya pukau [poetics of power], iklan bualan dan KKN berjamaah.

Jadi, kemerdekaan ini milik siapa? Entah. Jika revolusi ingin seindah dongeng, mestinya menghasilkan kemerdekaan yang diisi oleh jiwa yang punggungnya keras untuk membungkuk, hatinya tangguh untuk melawan (tidak kompromi). Jiwa yang berhidup dalam satunya kata dan perbuatan, serta mengharamkan segalanya kecuali menyejahterakan rakyat dengan seadilnya.

Indonesia: Diskursus Negara Postkolonial

Kita tahu, pada awalnya, terminologi postcolonial mengarah pada indikasi waktu, tempat dan suatu keadaan dari sebuah bangsa yang pernah dijajah. Secara tegas, Oxford English Dictionary [2001] menyatakan bahwa term colony adalah istilah untuk mengidentifikasi negara-negara jajahan Romawi sampai pertengahan abad ke-14. Dalam perkembangan teori-teori kritik, kolonialisme merupakan idiom yang berkonotasi pejoratif. Kolonialisme dipahami sebagai bentuk eksploitasi dan peminggiran oleh kuasa politik dunia Barat terhadap keberadaan identitas kultural (cultural identity) lokal yang heterogen. Yang di maksud cultural identity dalam konteks ini ialah identitas keagamaan, nasionalitas, etnis, ras dan jender.

Selanjutnya, diskursus postkolonial memayungi kemunculan wacana-wacana tanding di kawasan-kawasan yang pernah mengalami kolonialisasi negara-negara Eropa. Perspektif postkolonial menyajikan eksplorasi kritis wacana dalam relasinya dengan isu-isu ras, nasionalitas, subjektivitas, power, subalterns. Pemetaan isu postkolonial ini menggiring wacana kritik postkolonial ke dalam pergulatan identitas kultural lokal yang bersifat politis.

Secara historis-geneologis, ketergantungan rakyat pada negara dapat dilacak pada masa kolonialisme negara-negara kolonialis Eropa terhadap kawasan-kawasan Timur. Kolonialisme berperan besar dalam membentuk mental dan kognisi publik masyarakat kolonial. Sejarah kolonial mencatat bahwa hampir dua pertiga kawasan-kawasan Timur mengalami kolonialisme. Namun pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 negara-negara Timur bangkit melakukan gerakan-gerakan pembebasan. Sayangnya, di awal abad ke-21 negeri-negeri Timur kembali masuk dalam perangkap hegemoni globalisasi dan dominasi kebijakan politik internasional Barat yang menjajah.

Nah, serangkaian penjajajahan ini menghasilkan diskursus postkolonial. Sebuah diskursus yang menghasilkan tengarai problem utama negara postkolonial (pernah dijajah). Pertama, problema kepemimpinan. Dalam konteks Indonesia misalnya, kita mendapati pemimpin yang tidak autentik. Sebab, Presiden Soekarno suka menyelesaikan problem bangsa dengan berpidato yang retoris, lalu Presiden Soeharto dengan senyum yang enigmatis, Presiden Habibi dengan kalimat berapi-api yang taktis, Presiden Abdurahman Wahid dengan guyon dan satiris, Presiden Megawati dengan diam tak berencana maka Presiden SBY hanya dengan pidato dan tebar pesona. Praktis kepemimpinan mereka tanpa team work yang kuat dan tidak berpaku pada UUD-45.[1] Tentu saja, jika masih percaya pada model presiden yang pernah kita punya, niscaya problem bangsa ini tak akan berakhir secepatnya. Karena itu, mari selamatkan bangsa ini dari pesona-pesona presiden di masa lalu dan sekarang yang jelas tak menghasilkan capaian cita-cita bangsa sebagaimana amanat Pancasila dan UUD-45.[2]

Dalam sebuah wawancara serius, Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson [15/8/07] mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan demokrasi [liberal] bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [ABRI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.” Tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka.

Makna hipotesa Ben Anderson ada dua. Pertama, tentara dan Bung Karno merupakan aktor utama kehancuran demokrasi. Kedua, tentara dan Bung Karno melihat ”kekuasaan” sebagai sumber utama kehidupan yang tak boleh dibagi apalagi dilepaskan. Bagi keduanya lebih baik menghancurkan demokrasi daripada menghancurkan diri sendiri. Diri di atas negara, diri di atas demokrasi. Negara dan kekuasaan untuk dirinya, bukan dirinya untuk negara.

Bagi keduanya, demokrasi dan kekuasaan bukan sebagi dua hal yang berhubungan. Sebaliknya berhadapan secara diametral. Cara penghadapan ini dapat dipahami karena tentara dan Bung Karno mengidap kepribadian yang disebut inferiority complex. Ini adalah sejenis kepribadian yang tumbuh karena mereka tidak memiliki kekuatan di dalam diri mereka sendiri dikarenakan tekanan dan problem masa lalu. Ketika mereka tidak memiliki kekuatan yang ada dalam dirinya, mereka akan mengontrol segala sesuatu di luar diri mereka. Karena itu, demokrasi yang sesungguhnya bermakna ”teori politik” untuk membagi kekuasaan agar tidak berpusat pada seseorang dianggap sebagai ancaman yang menakutkan sehingga harus dikontrol bahkan dibuang. Oleh tentara diganti dengan ”kudeta merangkak” yang dipimpin Bung Harto, sementara oleh Bung Karno didekrit dengan kembali ke demokrasi terpimpin [Soekarno].

Kedua, munculnya budaya dan pengetahuan mimikri,[3] kebudayaan hibrida dan politik limbo yang melupakan cita-cita besar sebagai hasil galian dari kearifan lokal (keadilan dan kesejahteraan). Padahal, cita-cita ke arah keadilan dan kesejahteraan dapat dimulai dengan pengetahuan tentang cengkraman warisan kolonial yang terus membelenggu [colonial aftermath]. Dengan pendekatan-pendekatan studi postkolonial, kita diharapkan mulai membangkitkan nasionalisme baru, kebangkitan kembali bangsa Indonesia serta penumbuhan harkat dan martabat bangsa. Sambil menyadari bahwa langkah ini adalah langkah tak lazim karena kesadaran kolonial memang tidak dimiliki banyak orang bahkan sering ditindas oleh negaranya sendiri.[4]

Ketiga, membiaknya komprador, pengkhianat dan external patron-client. Sartono Kartodirjo [1997:74] menulis bahwa, ”musuh yang paling ditakuti dan sangat keras pada Belanda saat penjajahan adalah mereka yang [justru] dididik oleh Belanda.” Ini yang membedakannya dengan hasil didikan USA yang sering menjadi ekonom-politisi hit-man. Jika lulusan Belanda masa perjuangan menghasilkan ”anak durhaka” karena perlawanannya pada orang tua angkatnya, sebaliknya lulusan USA lebih memilih bekerjasama bahkan berucap, Amerika adalah tanah air saya yang kedua.

Keempat, mencari solusi bukan mencari sebab. Akar-akar persoalan di negara-negara postkolonial berhasil diidentifikasi dan ditemukan solusinya tetapi tidak dengan menemukan penyebabnya. Hal ini karena mereka menumbuhkan keinginan instan, darwinian dan “dendam.”

Keempat ciri utama problema postkolonial ini menghasilkan: pemerintahan tanpa pembelaan pada rakyat miskin [birokratis], kekayaan tanpa kerja keras [korupsi], perdagangan tanpa moralitas [kolusi], kekuasaan tanpa nurani [nepotisme], pendidikan tanpa karakter [instan], tekhnologi tanpa humanitas [dehumanisasi], peribadatan tanpa pengorbanan [ritualisme], dan agama tanpa subtansi [iklan dan pidato].

Di atas segalanya, diskursus postkolonial kemudian merekomendasikan apa yang disebut dengan pendefinisian kembali boundary (batas) and [common] enemy (musuh bersama). Artinya, jika bangsa Indonesia ingin lepas dari negeri postkolonial maka kita harus melenyapkan Indonesia lama (enemy) dengan membangun Indonesia baru yang lebih bernas dan cerdas serta “berbeda” (boundary) agar cita-cita kita ke arah kemanusiaan dan kesejahteraan yang adil dan beradab segera terwujud. Anda semua berani?[]


Rumusan Masalah

Dari pengantar di atas, kajian Postkolonial di Indonesia ini akan ditinjau dari beberapa bidang seperti aspek kepemimpinan, psikologi, pendidikan, pertahanan dan keamanan, agama, hukum dan kajian sastra. Bidang-bidang ini dipilih untuk menyingkap tabir Postkolonial telah meresap ke dalam berbagai aspek kehidupan warga negara bekas jajahan (Postkolonial). Pokok masalah dalam kajian ini mengacu pada tesis-tesis sebagai berikut:
Apa penyebab lekatnya nilai-nilai yang ditinggalkan oleh penjajah terhadap bangsa yang dijajahnya?
Bagaimana proses doktrinasi (hegemoni) nilai itu berlangsung?
Dengan cara apa nilai-nilai Postkolonial itu dilanggengkan?
Bagaimana strategi pembebasan/pemerdekaan dari pengaruh hegemoni Postkolonial (isme)?

Tema-Tema Pembahasan

Guna melahirkan kajian yang mendalam tentang Postkolonialisme, akan dibahas dengan gambaran tema dan penulis sebagai berikut:

Kepemimpinan Negara Postkolonial

Yudhie Haryono
Psikologi Bangsa Postkolonial

Evie Hafiyah
Telaah Konflik di Negara Postkolonial

Bambang W. Soeharto
Praktik Ekonomi Negara Postkolonial

Sumantri Suwarno
Demokrasi dan Praktik Politik Negara Postkolonial

Prasetyo
Reformasi Pendidikan Negara Postkolonial

Edhi Subkhan
Pembangunan Bidang Pertahanan dan Keamanan Negara Postkolonial

Andi Muawiayah Ramly
Agama dan Kolonialisme

Syaiful Arif
Manajemen Pemerintahan Postkolonial

Bahrullah Akbar
Sastra dan Dekonstruksi terhadap Postkolonialisme

Azmi faiqoh
Pembangunan Hukum Negara Postkolonial

Eggy Sudjana

Manfaat
Bagi para mahasiswa dan akademisi buku hasil riset ini berguna sebagai buku induk untuk mendalami kajian postkolonialisme. Selain itu, riset yang bersifat dekonstruktif dan konstruktif ini sangat berguna untuk menginjeksi kesadaran kolektif (sejarah) kaum muda dalam perannya sebagai penerus kepemimpinan Indonesia.
Bagi pemerintah, buku ini berguna sebagai kaca benggala dan panduan untuk menyusun kerangka kebijakan negara yang lebih mengutamakan kepentingan warga negara daripada kepentingan asing (neokolonialisme).
Bagi para jurnalis, buku ini berguna sebagai data/referensi dalam menyajikan berita tentang penulisan sejarah dan masa depan bangsa.
Bagi masyarakat luas, buku ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran diri, kesadaran sejarah dan kesadaran terhadap cita-cita dan masa depan rakyat secara luas.

Waktu Penulisan

Riset ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2010.

Metode

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah riset kepustakaan dan wawancara narasumber.

Pembiayaan

Pembiayaan riset ini dilakukan secara swadaya, baik oleh lembaga maupun oleh para penulis.

Penutup

Demikian draf ini kami susun sebagai panduan penulisan buku. Besar harapan kami, riset ini mendapat dukungan dari awal hingga akhir. Sebab, riset ini merupakan bagian dari ikhtiar untuk memajukan negara Indonesia tercinta. Salam hormat.

[1]Laporan, “Langkah Kuda SBY-Kalla,” Majalah Gatra, No. 50/thnX/30/10/2004

[2]Lihat, “Seribu Sangsi Untuk SBY,” Tempo, Edisi 1-7 November 2007, hal. 10

[3]Menurut Homi K. Bhabha (1949), ilmuwan dan penggangas studi postkolonial India, konsep mimikri diambil dari perilaku binatang yang bermakna kesukaan melindungi dengan merubah diri atau meniru “lainnya.”Mimikri merupakan salah satu bentuk perilaku atau rupa yang pertama kali tumbuh pada sejumlah hewan, khususnya serangga, di mana spesies tersebut menyerupai spesies lain dalam hal perilaku maupun rupa. Biasanya mimikri adalah usaha menyerupai suatu spesies sebagai cara menghindari bahaya, misalnya bila berhadapan dengan predator. Salah satu contohnya adalah lalat bunga, yang banyak dari spesiesnya menyerupai tawon. Istilah ini jangan dikelirukan dengan kamuflase, di mana seseorang bertindak terhadap bahaya dari spesies hewan lain yang mencari mangsa di lingkungan sekitarnya. Pada masyarakat postkolonial, sikap mimikri ditujukan dengan tingginya perasaan iri terhadap penjajah, meniru dan menjiplak dan melanggengkan warisan mereka. Dengan mimikri ini, mereka berharap dapat sederajat dengan mereka, semaju mereka dan seperadaban (civilian) dengan pergaulan mereka.

[4]Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia, Routledge, London, 2006
(tulisan dikutip dari KOMPASIANA)

Abu Abdallah Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abdallah Ibn Idris al-Qurtubi al-Hasani, also known by his short name as Al-Sharif Al Idrisi Al Qurtubi, was born in Ceuta, Spain, in 1099 A.D.

He received his education in Cordova, then flourished at the Norman court in Palermo.

Al Idrisi was a direct descendant of the prophet Muhammad (pbuh). It is not confirmed whether he died on 1166 or 1180 A.D.

(tulisan ini dikutip dari ISLAMONLINE)
Many scholars regard him as the greatest geographer and cartographer of the middle Ages.

As all Muslim geographers, Al Idrisi traveled to many distant places, including Europe, to gather geographical data. Muslim geographers at that time had already made accurate measurements of the earth surface, also several maps of the world were available.

Al-Idrisi combined his own findings to the available knowledge at his time. He became famous for his comprehensive knowledge of all parts of the world, he also attracted the attention of European sea navigators and military planners more than other Muslim geographers because ships and navigators from north sea, Atlantic and the Mediterranean frequented Sicily, which is located about the middle of the Mediterranean.

Several of his books were translated into Latin and his books on geography were popular for several centuries.

The translation of one of his books was published in 1619 in Rome, but it was an abridged edition and the translator did not give credit to Al-Idrisi.

It is interesting that Europe took several centuries to make use of his work and the world map. It is worth mentioning that Christopher Columbus used the map which was originally taken from Al-Idrisi’s work.

Al-Idrisi’s fame and competence eventually led to the attention of Roger II, the Norman King of Sicily, who invited him to produce an up-to-date world map.

It should be mentioned that Sicily was under Muslim rule before King Roger, where Muslim works were freely available for transmission to Europe through Latin West. Al Adrisi then spent most of his life in the service of the Norman King, Roger II.

Al-Idrisi constructed a circular world map of pure silver that weighed approximately 400 kilograms and precisely recorded on it the seven continents with trade routes, lakes and rivers, major cities, and plains and mountains.

Al Idrisi described the world in Al-Kitab al-Rujari (Roger’s Book), also entitled Nuzhat al-Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afaq (The delight of him who desires to journey through the climates).

This is practically a geographical encyclopedia of the time, containing information not only on Asia and Africa, but also on European countries.

He also compiled another geographical encyclopedia larger than the former entitled Rawd-Unnas wa-Nuzhat al-Nafs (Pleasure of men and delight of souls) also known as Kitab al- Mamalik wa al-Masalik, his knowledge of the Niger, the Sudan, and of the head waters of the Nile was remarkable for its accuracy.

In addition to geography, he also contributed to the science of medicinal plants. His major contribution in this field lies in he medicinal plants as presented in his several books, especially Kitab al-Jami-li-Sifat Ashtat al-Nabatat. He reviewed and synthesized all the material available on the subject of medicinal plants and associated drugs available to him from Muslim scientists and added to it his research collection from his travels.

He contributed this material to the subject of botany with emphasis on medicinal plants. He has given the names of the drugs in six languages: Syriac, Greek, Persian, Hindi, Latin and Berber.

Besides botany and geography, Idrisi also wrote on fauna, zoology and therapeutically aspects. His work was soon translated into Latin.

His books on geography remained popular both in the East and the West for several centuries.

Kerusuhan social dan tindakan represif dari berbagai institusi, berkali-kali menghapus fakta keanekaragaman di negeri ini. Padahal, keanekaragaman adalah fakta. Fakta kenekaragaman memang sesuatu yang dilematis. Di satu sisi, keberagaman adalah sebuah fenomena nyata yang tidak mungkin diingkari. Tapi di sisi yang lain, ada sebuah misi persatuan di bawah payung NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang juga harus dijunjung tinggi.

Pluralitas masyarakat Indonesia sudah dilupakan sejak masa Orde Baru. Dan sebaliknya nilai kesatuan begitu ditonjolkan. Pemerintah saat itu sangat ketakutan dengan fenomena banyaknya ragam budaya, ideology, agama, ras, dan lain sebagainya yang terdapat dalam kultur masyarakat Indonesia. Mereka berpikir, bahwa ancaman negatif dari keragaman masyarakat Indonesia akan menghancurkan kedaulatan negeri ini, sehingga perlu tindakan represif untuk menyatukan segala aspek kehidupan berbangsa. Diadakanlah pelatihan-pelatihan kebudayaan, dengan memunculkan satu model kebudayaan nasional; juga bentuk pengajaran seragam; dibatasilah hak asasi berkeyakinan agama dengan menetapkan lima agama resmi, yang akibatnya tidak diakuinya ratusan bahkan ribuan agama rakyat Indonesia yang sangat kaya, bahkan khotbah-khotbah para khatib dan pendeta juga diseragamkan, hak berpolitik dibatasi hanya dalam satu partai, yaitu Golkar, sementara PPP dan PDI hanyalah pemanis demokrasi semu Orde Baru, sebab berkali-kali Pemilu, suara kedua partai tersebut tetap stagnan dan sangat tidak signifikan sebagai satu partai di negeri yang hanya memiliki sedikit partai; dan seterusnya. Tindakan seperti yang dilakukan Orde Baru adalah sebuah contoh tindakan yang sangat tidak manusiawi, dimana fakta keanekaragaman tidak dilihat sebagai fakta yang tidak bisa tidak harus diterima, melainkan diberangus dengan cara-cara keji.

Pada saat Orde Baru meletakkan jabatan pada tahun 1998, setelah serangkain gerakan rakyat (people power) melumpuhkan gairah pemerintahan, perayaan pluralitas atau kebaragaman memperoleh momentumnya. Berbagai ragam dan unsur masyarakat Indonesia yang selama ini dibungkam seakan memperoleh kesempatan untuk kembali menunjukkan eksistensi mereka. Tapi karena, ibarat sebuah pesta, perayaan pluralisme tersebut melampaui batas-batas kewajaran, sehingga muncullah berbagai konflik social di masyarakat Indonesia, mulai dari konflik Ambon, Sambas, Pontianak, Poso, Aceh, dan seterusnya. Bibit-bibit perpecahan seperti sebetulnya bukan semata-mata ekses dari terbukanya kran demokrasi, melainkan terutama terpupuk secara subur dan matang dalam sebuah sistem totaliter. Orde totaliter lah yang membuat bibit konflik melalui tindakan represif kepada mereka. Penegasan identitas muncul ketika ia berusaha dipendam dan ditiadakan. Orde adalah mesin pemupuk konflik antar budaya yang sangat efektif. Betul pada masa kekuasaan Orde Baru konflik sosial antar budaya itu tidak nampak secara kasat mata, tapi ia benar-benar ada dalam wadah yang tertutup.

Persoalan tentang bagaimana menghargai pluralisme dan tetap mempertahankan kesatuan tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan salah satunya. Ketahanan persatuan tidak akan terusik apabila beragam budaya dan kepentingan masyarakat terpenuhi dengan adil. Menyelesaikan konflik social bukan dengan menghilangkan satu unsure dalam masyarakat, melainkan memberikan pengakuan terhadap eksistensi mereka. Persekutuan antara kesatuaan dan keanekaragaman memang agak aneh, dan penguasa harus ekstra hati-hati menyelesaiakan persoalan yang tampak secara sekilas bertolak belakang ini. Padahal kalau dicermati secara mendalam, justru persatuan dan keanekaragaman adalah dua hal yang saling mengandaikan. Persatuan tidak akan terwujud tanpa pengkuan terhadap keanekaragaman, sementara keanekaragaman tidak akan terjamin dalam suasana chaos.

Memberikan ruang yang sebebas-bebasnya kepada semua unsur dalam masyarakat adalah pilihan strategis untuk mengembangkan persatuan. Sebab hanya kebebasanlah yang menjamin terjaganya semua hak individu dan hak berbagai unsur masyarakat. Ketika kebebasan ditekan, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Orde Baru, berbagai unsure masyarakat tidak memperoleh haknya sebagai masyarakat, yang mengakibatkan munculnya berbagai ketimpangan dan kecemburuan social.

Terkait masalah kebebasan, Isaiah Berlin, pemikir kelahiran Rusia, dalam buku “Four Essays on Liberty”, mengembangan dua model kebebasan yang mutlak ada dalam sebuah masyarakat ideal, yakni kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif menunjukkan hak seseorang untuk mengembangkan kebebasaannya sebebas-bebasnya. Tapi suasana kebebasan dalam sebuah masyarakat akan memperjelas batas-batas kebebasan seseorang (kebebasan negatif). Artinya eksplorasi kebebasan maksimal akan menciptakan sebuah masyarakat yang teratur, dimana semua hak terpenuhi secara adil. Kebebasan membatasi dirinya sendiri; batas kebebasan ditentukan oleh kebebasan itu sendiri; kebebesan seseorang ditasi oleh kebebasan orang lain. Pada akhirnya, sebuah masyarakt yang bebas akan memberikan pengakuan yang sebesar-besarnya kepada ragam perbedaan yang terdapat dalam masyarakat.
Sekali lagi, memecahkan persoalan keutuhan bangsa di tengah keanekaragaman unsur bangsa Indonesia bukan dengan memberangus dengan menciptakan sentralisasi yang represif, melainkan memberi ruang yang seluas-luasnya bagi beregam unsure tersebut untuk tumbuh berkembang dengan subur. Kenekaragaman harus disadari oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan malah mencoba menghilangkan kesadaran tersebut.
Sumber: Saidiman Ahmad, 2007, “Persatuan dan Keanekaragaman Saling Mengandaikan”.

Tugas: Mahasiswa Manajemen FE Unlam, MK ISBD.

(1) Jelaskan pernyataan ini: “Dalam menyelesaikan konflik sosial bukan dengan menghilangkan satu unsur dalam masyarakat, melainkan memberikan pengakuan terhadap eksistensi mereka”;

(2) Masalah keragaman suku bangsa di Indonesia menjadi penting dikaji ketika beberapa daerah di Negeri ini mengalami konflik sosial. Jelaskan beberapa konflik yang terjadi di Indonesia, dan bagaimana saran Anda untuk mengatasinya?

Komentar Terbaru

syaharuddin pada MODEL PEMBELAJARAN
syaharuddin pada Sejarah PGRI
syaharuddin pada Final Tes Sejarah Pendidikan I…
syaharuddin pada Studi (Negara) Postkolonial
syaharuddin pada Al Idrisi: Sang Geografer Musl…

Flickr Photos

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 272.754 hits