You are currently browsing the monthly archive for Juni 2008.

Syaharuddin
Tanggal 20 Mei, Indonesia memperingati Satu Abad Kebangkitan Nasional. Momentum tersebut tidak dilewatkan oleh beberapa komunitas di negeri ini untuk mengenang awal kebangkitan bangsa yang dipelopori oleh organisasi Budi Utomo. Di Yogyakarta misalnya, pada tanggal 4 Maret 2008 lalu, di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta sedang dibacakan sebuah deklarasi “Seruan Moral bagi Bangsa” oleh Ketua Majelis Guru Besar (MGB) UGM, Prof. Drs. Suryo Guritno, M.Stats, Ph.D, didampingi 99 Guru Besar lainnya.
Isi deklarasi intinya ada tiga yaitu, pertama, mengajak para pemuda untuk memanfaatkan 100 tahun atau satu abad kebangkitan nasional ini sebagai mata rantai yang tidak terpisah dari tonggak-tonggak sejarah bangsa untuk menjawab tantangan masa kini dan masa depan, khususnya para generasi muda pemilik sah masa depan bangsa NKRI.; Kedua, untuk menjadi bangsa adil-makmur yang dapat menegakkan kepala di tengah pergaulan bangsa-bangsa sebagai kepastian masa depan, kita harus membangun kembali jiwa bangsa: menegakkan kembali martabat sebagai bangsa, menggelorakan kembali harapan di tengah frustrasi sosial yang mendalam, menemukan jalan bagi masa depan di tengah meluasnya romantisme untuk kembali ke masa lalu dan serbuan pragmatisme jangka pendek, dan meneguhkan kembali kegotongroyongan di tengah mekarnya individualisme, konsumerisme dan memudarnya nilai-nilai voluntarisme; Ketiga, diperlukan keteladanan kepemimpinan intelektual sebagaimana dibuktikan oleh sejarah kelahiran Budi Utomo, perlu dibangkitkan dan digelorakan kembali.

Begitu pula tulisan yang terdapat di blog Samsurizalblog, dengan berapi-api ia mengatakan: “….saudaraku sebangsa dan setanah air, marilah kita jadikan peringatan satu abad hari kebangkitan nasional ini sebagai momentum kebangkitan menuju Indonesia baru. Indonesia yang bebas dari korupsi, Indonesia yang bebas dari buta huruf, Indonesia yang dua ratus juta penduduknya menikmati kehidupan yang layak! tidak ada lagi anak yang tidak sekolah, tidak ada lagi pemuda-pemuda yang menganggur!….”,

Terakhir, di Salatiga akan diadakan “Sarasehan Kebangsaan” tepatnya pada tanggal 21 Mei 2008 akan datang. Sarasehan itu mengambil tema “Konsiliasi Sejarah Kedua” yang akan disampaikan oleh Sri Sultan Hamengkubowono X, KPAA Sri Paku Alam IX, Sri Susuhunan Pakubowono XIII, KPAA Mangkunegara IX, Trias Kuncahyono (Wapemred Kompas), Aulia A Muhammad (Pemred Suara Merdeka Cyber News), Octo Lampito (Pemred Kedaulatan Rakyat), dan Wahyu Susilo (Wapemred Solo Pos). Acara tersebut dilaksanakan dalam rangka 100 (satu abad) tahun kebangkitan nasional dan 80 tahun Sumpah Pemuda.

Dan masih banyak lagi berbagai respon yang ditunjukkan oleh berbagai komunitas, khususnya komunitas yang berbau akademik. Namun, dari sekian banyak respon tentang satu abad kebangkitan nasional, hanya sedikit yang menulis tentang eksistensi organisasi lain –khususnya Sarekat Islam (SI) sebagai awal kebangkitan nasional.

Beberapa buku sebagai rujukan ilmiah telah memberikan ulasan dengan jelas bahwa kebangkitan nasional yang selalu dirayakan setiap tanggal 20 Mei –yang telah menjadi sebuah mitos– masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Misalnya saja menurut Savitri Schere, (1985: 267, dalam Asvi Warman Adam, 2007: 21) mengatakan bahwa sebenarnya organisasi Budi Utomo merupakan organisasi modern pertama di Tanah Air kita, tetapi ruang lingkup keanggotaannya masih terbatas kepada orang Jawa (Priyayi). Sementara itu, “cita-citanya adalah mempertahankan status quo dalam masyarakat sosial Jawa”. Begitu pula A.K. Pringgodigdo –penulis sejarah masa revolusi—mengatakan bahwa : “walaupun Budi Utomo perkumpulan buat seluruh Jawa dan oleh karena itu bermula mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa perantara, tetapi sudut sosiaalcultureel Budi Utomo hanya memuaskan untuk penduduk Jawa Tengah” (Adam, 2007: 22). Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat d Jawa (1912-1926) (1977) mengatakan bahwa pendirian Budi utomo bercirikan lokal, sebab keanggotaanya masih terbatas pada kelas tertentu dan dikhususkan bagi priyayi Jawa. Begitu pula dengan penilaian Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara–tokoh pendiri Indisce Partij (IP)—mengatakan bahwa“….Perkumpulan Budi Utomo merupakan organisasi pegawai pemerintah, karena itu, ia tidak sampai ke lapisan masyarakat bawah yang sejak berabad-abad menderita. …” (sebagaimana dikutip Safrizal Rambe, 2008: 42).

Sementara itu jika kita ingin mencermati gerakan SI pada waktu itu maka akan tampak sebuah perbedaan yang sangat dalam. Misalnya, seorang sejarawan asing Fred R. von der Mehden (1957: 34) mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia.

Dari sisi tujuan, SI memperlihatkan ciri kenasionalannya, yaitu “…berikhtiar mengangkat derajat rakyat agar menimbulkan kemakmuran, kesejahteraan dan kebesaran negeri” (Deliar Noer, 1994: 117). Sementara gerakannya yakni berusaha melakukan pembelaan atas rasa ketertindasan para pedagang kecil, kaum buruh, kaum tani, dan rakyat miskin lainnya. SI juga berusaha membebaskan dirinya dari nasionalisme yang berbau primordial dan berjuang untuk mewujudkan nation Indonesia seperti yang kita kenal sekarang. Dengan demikian SI (yang sebelumnya SDI yang berdiri 16 Oktober 1905) sebenarnya pada awal berdiri telah menjadi garda terdepan dari semangat nasionalisme yang mulai menemukan bentuknya (Safrizal Rambe, 2008:43).
Logika kata “Islam” pada Sarekat Islam (SI)

Perdebatan antara BU dan SI sangat berpengaruh terhadap keberagamaan yang ada di Indonesia. Dari berbagai informasi yang ada memperlihatkan bahwa dijadikannya Budi Utomo sebagai organisasi modern pertama pada awal pergerakan nasional awal abad 20 tidak terlepas dari pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Belanda lebih mendukung Budi Utomo dijadikan ikon gerakan kebangkitan daripada yang lain –khususnya SI–, gerakan dan perkembangan BU pun dijadikan sebagai keberhasilan politik etis Belanda saat itu. Sementara SI, karena “Islam”nya lebih kental mempengaruhi gerakannya sehingga dianggap sebagai gerakan yang bernuansa sektarian.

Dukungan pemerintah Belanda terhadap BU berlanjut sampai masa Orde Baru. Sejak Orde Baru, mitos kebangkitan nasional tanggal 20 Mei merupakan angka mati. Hal ini sangat berkorelasi terhadap legitimasi kekuasaan Soeharto semasa pemerintahannya.

Sebenarnya, SI tidak mendapat dukungan dari pemerintah karena adanya kata “Islam” pada singkatannya. Padahal gerakan SI dan BU sebuah gerakan yang sangat tidak seimbang dari sisi manapun. Masalah keanggotaan, masalah bidang atau tujuan organisasi, aktivitas dll, semua menunjukkan kenasionalan jika dibandingkan dengan BU. Antara tahun 1912-1916 anggota SI saja telah mencapai 490.120 orang (Korver, 1985: 225), dan pada tahun 1919 jumlah anggota menjadi 2.000.000 orang (Benda, 1985: 65) suatu jumlah keanggotaan yang tidak pernah ada dalam organisasi manapun di Hindia Belanda saat itu, selain SI. Hal ini menunjukkan bahwa SI adalah sebuah gerakan nasional karena diterima dan didukung oleh semua golongan dan kelompok manapun oleh rakyat di Hindia Belanda saat itu.

Kata Islam pada SI atau Islam di Indonesia logikanya sama dengan agama Nasrani di Eropa dan Amerika. Maksudnya adalah ketika Islam menjadi sebuah identitas maka harus dipahami bahwa hal itu merupakan sebuah konsekuensi logis yang harus dijalankan dimana Islam merupakan agama mayoritas di negeri ini. Oleh karena itu adalah sangat tidak logis ketika Islam pada SI dikatakan sebagai gerakan sektarian. Pendapat penulis didukung oleh sumber yang berasal dari Korver (1985: 27) yang mengatakan bahwa”…Dengan memilih Islam sebagai identitas, SI memastikan diri sebagai sarana yang ampuh dalam cita-citanya menuju emansipasi; dan dalam usahanya di sini untuk menarik sebanyak mungkin orang Indonesia dari berbagai kepulauan. Mengingat dia di sini pada tingkat yang cukup tinggi juga berhasil, dapatlah kita menganggap SI sebagai gerakan yang telah memberikan kontribusi penting bagi penyatuan Indonesia”.

Kalimat Korver tersebut sebuah indikasi bahwa Islam di Indonesia merupakan sebuah identitas bangsa. Artinya bahwa, Islam dijadikan “alat” pemersatu bangsa karena ketika itu dan sampai saat ini Islam adalah agama mayoritas di Hindia Belanda.

Sebagai penutup tulisan ini, satu hal penting perlu diingat bahwa mitos tanggal 20 Mei sebagai awal kebangkitan nasional mungkin tidak perlu terlalu diperdebatkan, akan tetapi yang perlu dikritisi adalah bahwa ada organisasi lain yang juga bersama-sama dengan Budi Utomo mengembangkan kebangkitan nasional, khsususnya SI. Bahkan, berdasarkan berbagai sumber dan interpretasi para sejarawan dalam dan luar negeri –sebagaimana telah diurai di atas– sepakat mengatakan bahwa SI lebih nasionalis ketimbang Budi Utomo yang ketika awal berdirinya masih bersifat kedaerahan, yakni keanggotaannya terbatas hanya pada priyayi Jawa saja. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura. Organisasi ini juga tidak pernah mendapat dukungan rakyat yang nyata pada kelas bawah dan jumlah anggotanya hanya 10.000 orang saja (bandingkan dengan SI 2.000.000 orang pada tahun 1919). Yang jelas, Budi Utomo merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan serta jarang memainkan peran politik yang aktif (Adam, 2007: 22).

Namun dari semua hal di atas, dalam rangka mengenang satu abad kebangkitan nasional –terlepas tanggal 20 Mei tersebut masih proses perdebatan sebagai tonggak awal kebangkitan nasional– adalah mari kita kita bangkit bersama memerangi kebodohan, kemiskinan, neo-kapitalisme, dan neo-liberalisme, karena semua itulah sebenarnya musuh kita.

Mari bersama-sama kita bangkit untuk mengurangi dan menghapuskan segala penderitaan, keterpurukan, termasuk jutaan anak di negeri ini yang telah lama merindukan bangku sekolah, dan jutaan rakyat hidup dalam kesengsaraan. Marilah kita jadikan peringatan satu abad kebangkitan nasional ini sebagai momentum kebangkitan menuju Indonesia baru. Indonesia yang bebas dari korupsi, buta huruf, Indonesia yang dua ratus juta penduduknya menikmati kehidupan yang layak, tidak ada lagi anak yang tidak sekolah, dan mengatasi pengangguran.

Kemudian untuk menjadi bangsa adil-makmur maka kita harus membangun kembali jiwa bangsa: menegakkan kembali martabat sebagai bangsa, menggelorakan kembali harapan di tengah frustrasi sosial yang mendalam, meneguhkan kembali kegotong-royongan di tengah mekarnya individualisme dan konsumerisme.

Penulis adalah warga Komplek Mustika Graha Asri G-7 Banjarbaru dan sedang menyelesaikan S2 Sejarah di UGM Yogyakarta, email: fikri_025@yahoo.co.id, webblog: http://www.syaharuddin.wordpress.com

Komentar Terbaru

syaharuddin pada MODEL PEMBELAJARAN
syaharuddin pada Sejarah PGRI
syaharuddin pada Final Tes Sejarah Pendidikan I…
syaharuddin pada Studi (Negara) Postkolonial
syaharuddin pada Al Idrisi: Sang Geografer Musl…

Flickr Photos

Juni 2008
S S R K J S M
 1
2345678
9101112131415
16171819202122
23242526272829
30  

Blog Stats

  • 272.754 hits