You are currently browsing the monthly archive for Juni 2012.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk baik secara etnis, budaya, dan agama. Etnis yang ada di Indonesia tersebar secara geografis dalam ribuan pulau¬-pulau . Setiap etnis memiliki budayanya tersendiri yang berbeda dengan etnis yang lain yang telah ada di negeri ini dan mentradisi sejak lama, bahkan sejak Indonesia belum dikenal. Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam (Nasikun, 2004:34).
Keragaman tersebut tentu dapat merupakan sebagai sebuah kekuatan, namun tak jarang justru menjadi sebuah ancaman. Sejak bangsa ini diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta, lebih-lebih pada periode Reformasi (sejak 1999 hingga sekarang) gejala itu telah tampak dengan kasat mata. Ia bisa berupa konflik etnik, konflik agama, atau identitas lainnya yang sering dipopulerkan dengan istilah konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan antar Golongan).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meredakan berbagai konflik tersebut, mulai dengan pendekatan refresif oleh “penguasa” sampai dengan musyawarah antar etnik dan lintas agama, namun belum juga tampak gejala berakhir, walaupun beberapa kasus mampu ditangani seperti GAM di Aceh melalui Perjanjian Helsinki, Konflik Poso dan juga Peristiwa Sampit. Tentu ini merupakan sebuah “PR” bagi kita semua, khusus kaum intelektual kampus dan tentu juga pemerintah sebagai lembaga resmi yang sangat bertanggung jawab atas kedamaian negeri ini.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan sebuah solusi pemecahan masalah, khususnya dalam pendidikan. Di antara variabel penting dalam sebuah pendidikan adalah pembelajaran. Karena itu, makalah ini bermaksud memberikan gambaran bagaimana model pembelajaran dalam pendidikan IPS yang sebaiknya digunakan oleh pendidik pada jenjang SD dan SMP agar dapat menciptakan suasana pembelajaran yang mengapresiasi keberagaman, sehingga berbagai konflik yang “berbau SARA” dapat dieliminir sedini mungkin dan sebaliknya tercipta sebuah misi integrasi bangsa.

C. Tujuan
Tujuan utama makalah ini adalah sebuah upaya mencari solusi tentang berbagai permasalahan dan konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya yang bernuansa SARA melalui sebuah model pembelajaran tertentu. Selanjutnya, melalui kajian ini maka diharapkan akan mampu membantu peserta didik untuk dapat memahami perbedaan budaya yang tentu berdampak terhadap menguatnya integrasi bangsa.

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini adalah dengan library research. Buku-buku dan media cyber (internet) menjadi bahan yang mendukung penelitian ini untuk menjelaskan berbagai model pembelajaran berbasis Multikultural pendidikan IPS pada jenjang SD dan SMP.

E. Konsep dan Teori
Mengkaji pembelajaran berbasis multikultural dalam pendidikan IPS diperlukan beberapa konsep dan teori. Beberapa konsep dan teori yangakan diketengahkan yang dianggap sangat bermanfaat dalam membantu penulis dalam menganalisis tentang persoalan yang dikaji, yakni: (1) tentang teori dan konsep pendidikan multikultural; dan (2) model pembelajaran. Kedua konsep dan teori ini menjadi landasan berfikir untuk kemudian dapat dijelaskan berbagai hal tentang berbagai model pembelajaran dalam pendidikan IPS yang berbasis multikultural. Uraian tentang kedua konsep dan teori tersebut akan dijelaskan secara bersama-sama dalam pembahasan pada bab II.

BAB II
PEMBELAJARAAN IPS BERBASIS MULTIKULTURAL: SEBUAH UPAYA MEMPERKUAT INTEGRASI BANGSA

Kajian tentang model pembelajaran berbasis multikultural pada pendidikan IPS merupakan hal yang cukup mendesak, mengingat pascareformasi memperlihatkan gejala disintegrasi bangsa dengan adanya berbagai hal, di antaranya seperti maraknya konflik baik vertical maupun horizontal, euporia reformasi dan demokrasi lokal serta otonomi daerah, serta berbagai masalah yang semua itu mengarah kepada konflik yang mengancamn disintegrasi bangsa.
Karena itu, beberapa hal yang menjadi fokus kajian ini adalah model pembelajaran yang berbasis multikultural, yang berdasarkan rancangannya berpotensi mengakomodir berbagai persoalan multikulturalisme yang pada akhirnya mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif terhadap nilai-nilai keberagaman yang sangat bermanfaat dalam upaya meredam konflik etnis dan sebaliknya merekatkan nilai-nilai integritas bangsa.

A. Konsep dan Teori Pendidikan Multikultural
Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural. berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis,budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras.Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya. Betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis Cina, etnis Aab, etnis Arya, etnis Eropa, etnis Afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku Jawa, Batak, Minang, Bugis, Ambon, Papua, suku Dayak, suku Sunda, dan lain-lain. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bidang poitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Alasannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barangkali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan berbasis multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, dan prestasi.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, diperlukan adanya penerapkan pendidikan multikultural untuk menangkal semangat primordialisme. Paradigma pendidikan multikultural dalam konteks ini memberi pelajaran kepada kita untuk memiliki apresiasi respek terhadap budaya dan agama-agama orang lain. Atas dasar ini maka penerapan multikulturalisme menuntut kesadaran dari masing-masing budaya lokal untuk saling mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya yang dibalut semangat kerukunan dan perdamain. Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari pasal 4 UU No. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau pemikiran yang tidak muncul dalam ruangan yang kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi, dan intelektual yang mendorong kemunculannya.
Pendidikan multikulturalisme biasanya mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:
1. Tujuannya membentuk ”manusia budaya” dan menciptakan “masyarakat berbudaya (berperadaban)”.
2. Materinya mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusian, nilai-nilai bangsa, dan nilai-nilai kelompok etnis (cultural).
3. Metodenya demokratis, yang menghargai aspek-aspek perbedaan dan keberagaman budaya bangsa dan kelompok etnis (multikulturalis).
4. Evaluasinya ditentukan pada penilaian terhadap tingkah laku anak didik yang meliputi persepsi, apresiasi, dan tindakan terhadap budaya lainnya.
Banks (1987:32) memberikan beberapa contoh evaluasi pembelajaran yang sarat dengan nuansa multikultural, beberapa contoh pertanyaan yang bisa diajukan yakni:
(1) The melting pot concept does not accurately describe the nature of ethnicity in the United States. React to this position by stating whether you agree or disagree with it, and why?
(2) Make a list of the different ethnic backgrounds that constitute your ethnic heritage. Compare your list with similar lists made by other individuals in your class or workshop. What conclusions can you make about ethnicity in American society by analyzing these data?
(3) Study the results of the last national or local election. Note particularly the voting patterns of predominantly ethnic communities. What generalizations can you make on the basis of these data? What are the limitations of your generalizations?
(4) Interview a curriculum coordinator in one or two local school districts. Ask this individual to describe the school’s efforts to implement multiethnic education If the school focuses on some ethnic groups and not on others, ask for an explanation of this practice. How do your findings compare with the trends described in this chapter?
Bentuk evaluasi ini sangat jelas menggambarkan bagaimana Banks merangsang peserta didik untuk memahami persoalan-persoalan multikultural di Amerika Serikat. Kemampuan guru membuat pertanyaan dan tugas dengan baik tentu memiliki pengaruh yang besar terhadap pemahaman peserta didik akan arti penting sebuah perbedaan dan beragamnya kultur di Amerika Serikat. Tentu model dan strategi evaluasi semacam ini dapat juga diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia, khususnya pada mata pelajaran IPS.
Dalam konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. dan yang terpenting dari strategi pendidikan multikultural ini tidak hanya bertujuan agar supaya siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran mereka agar selalu berprilaku humanis, pluralis, dan demokratis.
Peran pendidikan didalam multikuklturalisme hanya dapat dimengerti dalam kaitannya dengan falsafah hidup, kenyataan sosial, yang akan melipuiti disiplin-disiplin ilmu yang lain seperti ilmu politik, filsafat, khususnya falsafah posmodernisme, antropologi, dan sosiologi. Dalam hal ini dimaksudkan agar dalam perjalanan sejarah pendidikan multikultural nantinya tidak kehilangan arah atu bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dasar multikulturalisme. Orientasi yang seharunya dibangun dan diperhatikan antara lain meliputi:
1. Orientasi kemanusiaan. Kemanusian atau humanisme merupakan sebuah nilai kodrati yang menjadi landasan sekaligus tujuan pendidikan. Kemanusian besifat universal, global, di atas semua suku, aliran, ras, golongan dan agama.
2. Orientasi kebersamaan. Kebersamaan atau kooperatif merupakan sebuah nilai yang sangat mulia dalam masyarakat yang plural dan heterogen. Kebersamaan yang hakiki juga akan membawa kepada kedamaian yang tidak ada batasannya. Tentunya kebersamaan yang dibangun disini adalah kebersamaan yang sama sekali terlepas dari unsur kolutif maupun koruptif. Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan yang masing-maising pihak tidak merasa dirugikan dirinya sendiri, orang lain, lingkungan, serta negara.
3. Orientasi kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan suatu kondisi sosial yang menjadi harapan semua orang. Kesejahteraan selama ini hanya dijadikan sebagai slogan kosong. Kesejahteraan sering diucapkan, akan tetapi tidak pernah dijadikan orientasi oleh siapapun. Konsistensi terhadap sebuah orientasi harus dibuktikan dengan perilaku menuju pada terciptanya kesejahteraan masyarakat.
4. Orientasi profesional. Profesional merupakan sebuah nilai yang dipandang dari aspek apapun adalah sangat tepat. Tepat landasan, tepat proses, tepat pelaku, tepat ruang, tepat waktu, tepat anggaran, tepat kualitatif, tepat kuantitatif, dan tepat tujuan.
5. Orientasi mengakui pluralitas dan heterogenitas. pluralitas dan heterogenitas merupakan sebuah kenyataan yang tidak mungkin ditindas secara fasis dengan memunculkan sikap fanatisme terhadap sebuah kebenaran yang diyakini oleh orang banyak.
6. Orientasi anti hegemoni dan anti dominasi. hegemoni dan dominasi hegemoni adalah dua istilah yang sangat populer bagi kaum tertindas. Hanya saja kedua istilah tersebut tidak pernah digunakan atau bahkan dihindari jauh-jauh oleh para pengikut paham liberalis, kapitalis, globalis, dan neoliberalis. Karena hegemoni bukan hanya dibidang politik, melainkan juga dibidang pelayanan terhadap masyarakat.
Dengan demikian multikulturalisme dan pendidikan bukanlah masalah teknis pendidikan belaka, tetapi memerlukan suatu konsep pemikiran serta pengembangan yang meminta partisipasi antardisiplin. Beberapa pemikiran “besar” dalam sejarah pemikiran kita lahir dari pergaulan para pemikir pada situasi politik dan kebudayaan. Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” bersemi di tengah dominannya model pendidikan Kolonial yang beriorentasi Barat dan diskriminatif.
Dalam alam reformasi hegemoni negara relatif cair dan kebebasan berpendapat praktis lebih dijamin. Berbagai masalah pendidikan kita pada alam reformasi tidak berkurang, mungkin lebih kompleks karena prinsip kesetaraan kepentingan. Namun, ruang kontemplasi untuk memikirkan berbagai persoalan itu terlibas dalam kebisingan “pembaruan”. Akibatnya, pemetaan persoalan-persoalan pendidikan melulu bertolak dari hal-hal kasat mata.
Multikulturalisme adalah keniscayaan yang tak bisa ditolak di negeri ini. Indonesia adalah salah satu negara bangsa di dunia yang meniscayakan multietnik dan agama tumbuh dalam masyarakat yang pluralis. Karena itu, pendidikan yang mengacu kepada trans etnik dan agama harus diusung sedemikian rupa agar tercipta relasi yang dinamis dan harmonis.
B. Pembelajaran Berbasis Multikultural
Pembelajaran multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter and Grant, 1988). Pendidikan multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang (Skeel, 1995). Pendidikan multikultural (multikultural education) merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keberagaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat, sekurang-kurangnya bagi sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat membentuk pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya, keseimbangan, dan demokrasi dalam arti yang luas (Liliweri, 2005). Pendidikan multukultural didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran multikultural pada dasarnya merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya (Banks, 1993).
Pendidikan multikultural juga merupakan gerakan reformasi yang sedang mencoba untuk mengubah sekolah dan lembaga pendidikan lainnya bahwa siswa dari semua kelas sosial, jenis kelamin, ras, bahasa, dan budaya kelompok akan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. (Banks,1997).
Pendidikan multikultural adalah sebagai sebuah ide, berusaha untuk menciptakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua siswa, termasuk dari kelompok ras, etnis, dan sosial-kelas yang berbeda. Pendidikan multikultural mencoba untuk menciptakan kesempatan pendidikan yang sama bagi semua siswa dengan mengubah lingkungan sekolah total sehingga akan mencerminkan perbedaan budaya dan kelompok dalam masyarakat dan dalam ruang kelas bangsa. Pendidikan multikultural adalah sebuah proses karena tujuannya adalah cita-cita bahwa guru dan administrator harus terus berusaha untuk mencapai. (Banks, 2012).
Dalam konteks yang luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996). Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok (Banks, dalam Skeel, 1995).
Di samping itu, pembelajaran berbasis multikultural dibangun atas dasar konsep pendidikan untuk kebebasan (Dickerson, 1993; Banks, 1994); yang bertujuan untuk: (1) membantu siswa atau mahasiswa mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk berpartisipasi di dalam demokrasi dan kebebasan masyarakat; (2) memajukan kebebasan, kecakapan, keterampilan terhadap lintas batas-batas etnik dan budaya untuk berpartisipasi dalam beberapa kelompok dan budaya orang lain.
C. Perlunyanya Pembelajaran Berbasis Multikultural
Rasional tentang pentingnya pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam beberapa hal, sebagai berikut: (1) memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent); (2) menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat; (3) model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk; (4) memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau ras lain (Jones, dalam Liliweri, 2003). Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996).
Melalui pembelajaran multikultural, subyek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Dengan kata lain, variabel sekolah terbentuk dimana besar kelompok rasial dan etnis yang memiliki pengalaman dan hak yang sama dalam proses pendidikan. Pelajar mampu mengembangkan keterampilannya dalam memutuskan sesuatu secara bijak. Mereka lebih menjadi suatu subyek dari pada menjadi obyek dalam suatu kurikulum. Mereka menjadi individu yang mampu mengatur dirinya sendiri dan merefleksi kehidupan untuk bertindak secara aktif. Mereka membuat keputusan dan melakukan sesuatu yang berhubungan dengan konsep, pokok-pokok masalah yang mereka pelajari. Mereka mengembangkan visi sosial yang lebih baik dan memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan serta mengkonstruksinya dengan sistematis dan empatis. Seharusnya guru mengetahui bagaimana berperilaku terhadap para pelajar yang bermacam-macam kulturnya di dalam kelas. Mereka mengetahui perbedaan-perbedaan nilai-nilai dan kultur dan bentuk-bentuk perilaku yang beraneka ragam.
D. Dimensi dan Pendekatan Pembelajaran Berbasis Multikultural
James A. Banks (1993, 1994-a), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran kedalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja kedalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak diubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice reduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan (melalui model) dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and sosial structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staf dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural di Indonesia pada umumnya memakai pendekatan kajian kelompok tunggal. Pendekatan ini dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam. Oleh karena itu, harus tersedia data-data tentang sejarah kelompok itu, kebiasaan, pakaian, rumah, makanan, agama yang dianut, dan tradisi lainnya. Data tentang kontribusi kelompok itu terhadap perkembangan musik, sastra, ilmu pengetahuan, politik dan lain-lain harus dihadapkan pada siswa. Pendekatan ini terfokus pada isu-isu yang sarat dengan nilai-nilai kelompok yang sedang dikaji.
Sedangkan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspectives) adalah pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Pada umumnya, guru-guru memiliki berbagai perspektif dalam pembelajarannya. Dalam kaitan ini, Bannet dan Spalding (1992) menyarankan agar pembelajaran menggunakan pendekatan perspektif ganda, dengan alasan pendekatan itu nampak lebih efektif.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya (Savage & Armstrong, 1996). Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil penelitian Byrnes (1988) membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis, karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang berbeda (Walsh, 1988). Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang fleksibel (Byrnes, 1988). Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi stereotipe negatif tentang budaya orang lain (Walker-Dalhouse, 1992). Pendekatan perspektif ganda mengandung dua sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
E. Identifikasi Kurikulum IPS SD dan SMP yang Berbasis Multikultural
Jika pada bagian awal makalah ini telah dibahas tentang beberapa konsep dan teori pendidikan multikultural, maka selanjutnya akan diuraikan model pembelajaran berbasis multikultural pada mata pelajaran IPS jenjang SD dan SMP.
Mengkaji tentang model pembelajaran sosial berbasis multikultural dalam pendidikan IPS pada jenjang SD dan SMP, maka akan diawali dengan identifikasi kurikulum IPS SD dan SMP. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari hubungan antara model pembelajran social yang akan dijelaskan.
Maksud kami pada bagian ini adalah sebuah upaya mengidentifikasi isi kurikulum IPS yang mengusung nilai-nilai multikultural. Pertanyaan dasarnya adalah sejauhmana kurikulum IPS (pada jenjang SD dan SMP) saat ini telah mengusung nilai-nilai multikultural? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini, karena diperlukan ketelitian dan kecermatan untuk kemudian mengatakan bahwa sebagian besar atau sebagian kecil kurikulum IPS pada jenjang SD dan SMP telah mengusung nilai-nilai multikultural.
Berdasarkan tujuan pendidikan IPS dalam kurikulum mata pelajaran IPS pada tingkat dasar dan menengah sebagaimana yang disarikan dari PUSKUR yakni, sebagai berikut:
(1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya;
(2) Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial;
(3) Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan;
(4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk.
Keempat tujuan tersebut, secara eksplisit dianggap telah menggambarkan sebuah pendidikan yang berbasis multikultural. Beberapa hal yang mencirikannya yakni bagaimana kurikulum yang disusun yang akan ditransformasikan kepada peserta didik akan mampu membentuk peserta didik yang dapat berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam lingkungan yang majemuk. Majemuk dalam hal ini sangat berkaitan dengan pluralisme dan keberagaman dalam hal suku/etnis, kepercayaan, bahasa, warna kulit, tingkat kecerdasan, tingkat ekonomi dlsb, yang semua itu adalah bagian dari konsep multikultural.
Berdasarkan uraian tentang tujuan kurikulum mata pelajaran IPS pada tingkat SD dan SMP maka selanjutnya akan diidentifikasi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), baik pada tingkat SD maupun SMP. Analisis yang dikedepankan adalah sejauhmana SK dan KD pada mata pelejaran SD dan SMP pada mata pelajaran IPS telah memberikan warna pada multikultural, kemajemukan, pluralism dan nilai-nilai integrasi bangsa.
Berikut digambarkan dalam bentuk tabel SK dan KD IPS pada jenjang SD dan SMP yang dianggap memiliki keterkaitan dengan nilai-nilai multikultural dan integrasi bangsa.

Tabel I: SK dan KD pada Jenjang Sekolah Dasar (SD)

Kelas I semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami identitas diri dan keluarga, serta sikap saling menghormati dalam kemajemukan keluarga 1.4 Menunjukkan sikap hidup rukun dalam kemajemukan keluarga (1 dari 4 KD)
Kelas II semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami kedudukan dan peran anggota dalam keluarga dan lingkungan tetangga 2.3 Memberi contoh bentuk-bentuk kerjasama di lingkungan tetangga (1 dari 3 KD)

Kelas III semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama di sekitar rumah dan sekolah 1.2 Memelihara lingkungan alam dan buatan di sekitar rumah
1.4 melakukan kerjasama di lingkungan rumah, sekolah, dan kelurahan/desa (2 dari 4 KD)
Kelas IV semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Memahami sejarah, kenampakan alam, dan keragaman suku bangsa di lingkungan kab/kota dan provinsi 2.4 Menghargai keragaman suku bangsa dan budaya setempat
2.5 Meneladani kepahlawanan dan patriotism tokoh-tokoh di lingkungannya (2 dari 6 KD)
Kelas IV semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Mengenal sumberdaya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi, di lingkungan kab/kota dan provinsi 2.4 Mengenal permasalahan sosial di daerahnya (1 dari 4 KD)
Kelas V semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Menghargai berbagai peninggalan dan tokoh sejarah yang berskala nasional pada masa Hindu-Budha dan Islam, keragaman kenampakkan alam dan suku bangsa, serta kegiatan ekonomi di Indonesia 1.1 Mengenal makna peninggalan –peninggalan yang berskala nasional dari masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia;
1.2 Menceritakan tokoh-tokoh sejarah pada masa Hindu-Budha dan Islam di Indonesia
1.3 Menghargai keragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. (3 dari 5 KD)
Kelas V semester 2 1.4
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Menghargai peranan tokoh pejuang dan masyarakat dalam mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 2.1 Mendeskripsikan perjuangan para tokoh pejuang pada masa penjajahan Belanda dan Jepang
2.2 Menghargai jasa dan peranan tokoh perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia
2.3 Menghargai jasa dan peranan tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan
2.4 Menghargai perjuangan para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan (4 dari 4 KD).
Kelas VI semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami perkembangan wilayah Indonesia, kenampakan alam dan keadaan sosial Negara-negara di asia, serta benua-benua 1.2 Membandingkan kenampakan alam dan keadaan sosial Negara-negara tetangga (1 dari 3 KD)

Kelas VI semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2. Memahami peranan bangsa Indonesia di era global (1 dari 2 SK) 2.1 Menjelaskan peranan Indonesia pada era global dan dampak positif serta negatifnya terhadap kehidupan bangsa Indonesia (1 dari 2 KD).

Tabel 2: SK dan KD pada Jenjang SMP

Kelas VII semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami kehidupan sosial manusia (1 dari 3 SK) 2.1 Mendeskripsikan interaksi sebagai proses sosial;
2.2 Mendeskripsikan sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian;
2.3Mengidentifikasi bentuk-bentuk interaksi sosial;
2.4 Menguraikan interaksi sosial (4 dari 4 KD)
Kelas VII semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami usaha manusia untuk mengenali perkembangan lingkungannya 4.3 Mendeskripsikan kondisi geografis dan penduduk; (1 dari 4 KD)
2. Memahami perkembangan masyarakat sejak masa Hindu-Budha sampai masa colonial 5.1 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa Hindu-Budha, serta peninggalan-peninggalannya;
5.2 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa Islam, serta peninggalan-peninggalannya;
5.3 Mendeskripsikan perkembangan masyarakat, kebudayaan dan pemerintahan pada masa colonial (3 dari 3 KD)

1. Memahami kegiatan ekonomi masyarakat (3 dari 3 SK) 6.1 Mendeskripsikan pola kegiatan ekonomi penduduk, penggunaan lahan dan pola pemukiman berdasarkan kondisi fisik permukaan bumi;
6.4 Mengungkapkan gagasan kreatif dalam tindakan ekonomi untuk mencapai kemandirian dan kesejahteraan (2 dari 4 KD)
Kelas VIII semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami usaha persiapan kemerdekaan 2.1 Mendeskripsikanperistiwa-peristiwa sekitar proklamasi dan proses terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia;
2.1. Menjelaskan proses persiapan kemerdekaan Indonesia
2. Memahami pranata dan penyimpangan social 2.1 Mendeskripsikan bentuk-bentuk hubungan sosial;
2.2. Mendeskripsikan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat;
2.3. Mendeskripsikan upaya pengendalian penyimpangan sosial
2. Memahami kegiatan perekonomian Indonesia 3.1 Mendeskripsikan permasalahan angkatan kerja dan tenaga kerja sebagai sumber daya dalam kegiatan ekonomi, serta peranan pemerintah dalam upaya penanggulangannya
Kelas IX semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami kondisi perkembangan negara di dunia 1.2 Mendeskripsikan Perang Dunia II (termasuk pendudukan Jepang) serta pengaruhnya terhadap keadaan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia (1 dari 2 KD)
2. Memahami usaha mempertahankan kemerdekaan 2.1 Mengidentifikasiusaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia;
2.2 Mendeskripsikanperistiwa-peristiwa politik dan ekonomi Indonesia pasca pengakuan kedaulatan (2 dari 2 KD)
3. Memahami perubahan sosial budaya

3.1 Mendeskripsikan perubahan sosial-budaya pada masyarakat;
3.2 Menguraikan tipe-tipe perilaku masyarakat dalam menyikapi perubahan (2 dari 2 KD)
Kelas IX semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
3. Memahami usaha mempertahankan Republik Indonesia 3.1 Mendeskripsikan perjuangan bangsa Indonesia merebut Irian Barat;
3.2 Mendeskripsikanperistiwa tragedi nasional Peristiwa Madiun/PKI, DI/TII, G 30 S/PKI dan konflik-konflik internal lainnya (2 dari 2 KD)
4. Memahami perubahan pemerintahan dan kerjasama internasional 4.1 Menjelaskan berakhirnya masa Orde Baru dan lahirnya Reformasi.
4.2 Menguraikan perilaku masyarakat dalam perubahan sosial-budaya di era global (2 dari 5 KD)

Berdasarkan butir-butir SK dan KD materi IPS SD dan SMP di atas, jika dianalisis secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa materi atau kurikulum IPS SD dan SMP telah memberikan warna multikultur serta nilai-nilai integrasi bangsa di dalamnya. Beberapa hal yang mencirikannya yaitu: (1) Pada materi sejarah, kajian tentang tokoh. Kajian tokoh yang menjelaskan kehidupan pribadi, keluarga, sosial dan berbagai hal lainnya itu tentu dapat dijadikan teladan oleh peserta didik dalam menjalankan kehidupan sosialnya yang sangat multukultur. Materi sejarah yang mengkaji tentang kehidupan masyarakat sejak periode Hindu-Budha, Islam dan Kolonial, dapat diperkenalkan berbagai budaya dan agama yang berbeda, namun dapat hidup berdampingan hingga ratusan tahun. Kajian sejarah tentang upaya persiapan kemerdekaan sampai pada mempertahankan kemerdekaan, dapat ditegaskan bahwa untuk mencapai kemerdekaan yang dinikmati sampai dengan hari ini adalah merupakan hasil sebuah kerjasama yang baik antar suku/etnis, agama dan berbagai kelompok lainnya.
Selanjutnya, (2) Kajian tentang sosial budaya. Materi tentang penyimpangan sosial dapat memberikan pemahaman kepada siswa bahwa dalam suatu masyarakat sangat lazim terjadinya sebuah penyimpangan. Penjelasan materi ini melalui model pembelajaran diharapkan siswa dapat lebih memahami berbagai perbedaan individu dalam masyarakat berdasarkan teori-teori sosial yang dipaparkan.
(3) Memahami lingkungan dan melaksanakan kerjasama adalah bagian dari kajian geografi. Penjelasan materi ini tentu membantu siswa dalam memahami lingkungan sekitarnya yang dihuni oleh beragama etnis, bahasa, agama dan sebagainya. Berbagai perbedaan ini tentu akan lebur jika dilakukan berbagai kerjasama, seperti gotong royong membangun sebuah fasilitas umum, seperti mesjid, gereja, atau balai desa, sebagaimana yang penulis saksikan pada masyarakat Dayak. Konflik yang terjadi selama ini karena interaksi sosial yang lebih intensif jarang terjadi sehingga masyarakat tidak saling mengenal. Biasanya hal ini terjadi pada masyarakat kota.
(4) Dalam bidang ekonomi, misalnya pada pembahasan tentang memahami kegiatan ekonomi Indonesia. Berbagai persoalan ekonomi bangsa, seperti persoalan SDA, SDM, tenaga kerja, kesempatan kerja dsb, akan membantu siswa dalam memahami perbedaan status sosial masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh bervariasinya profesi dalam masyarakat. Variasi profesi akan berdampak pada status sosial yang kadang dapat memicu konflik. Jika konflik tidak dapat dihindari, maka tentu hal ini akan berdampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai kemiskinan, kemelaratan dan kebodohan.
Berbagai kajian tersebut, baik yang bersifat sejarah sosial budaya, geografi, dan ekonomi tentu semua itu mampu memberi dampak positif terhadap peserta didik dalam memahami multikulturalisme di Indonesia. Pemahaman ini tentu sangat berpeluang dalam mengeliminasi gejala gesekan sosial yang mengarah pada konflik yang berbau SARA, dan pada sisi lain memperkuat integrasi bangsa.
Berdasarkan pengalaman Banks (1987: 28) di Amerika, maka menurutnya kurikulum multietnis sangat membantu individu (peserta didik) dalam memperoleh pemahaman diri yang lebih besar dengan melihat diri dari sudut pandang budaya lain. Melalui kurikulum multikultural yang didukung dengan model pembelajaran yang juga berbasis multikultur maka proses integrasi bangsa akan lebih mudah dicapai.

F. Pembelajaran Berbasis Multikultural dalam Pendidikan IPS: Upaya Meningkatkan Wawasan dan Pemahaman Multikultural dalam Rangka Peningkatan Integrasi Bangsa pada Peserta Didik
Implementasi pendidikan multikultural dalam sebuah proses pendidikan, khususnya pendidikan IPS di sekolah merupakan diantara pembahasan utama makalah ini. Hal yang mendasari adalah bahwa pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep akan tidak fungsional dan aplikatif jika tanpa dilakukan sebuah rancangan pembelajaran. Pada bagian ini merupakan hal penting yang harus menjadi pemikiran bersama, untuk kemudian diimplementasikan dalam sebuah proses belajar mengajar yang ujung tombaknya sangat ditentukan oleh ‘kemampuan’ dan ‘kemauan’ seorang guru.
Berdasarkan pengalaman penulis, berkaitan dengan kemampuan dan kemauan seorang guru dalam mengimplementasikan sebuah model dan strategi pembelajaran adalah bahwa pada dasarnya terdapat tiga model guru, yakni (1) guru yang mau melakukan perubahan pembelajaran berdasarkan hasil perkembangan dan penemuan inovasi pendidikan, hasil diklat, penataran, workshop, dlsb.; (2) guru yang tidak mau melakukan perubahan apa pun dan tetap mengandalkan metodenya sendiri, (3) guru yang mengkombinasikan antara metode mengajar lama dan baru.
Guru yang melakukan perubahan pembelajaran setelah menerima pencerahan melalui berbagai informasi tentang inovasi pembelajran, diklat, penataran dan workshop adalah tipe guru yang ideal tapi mungkin paling banyak 20-30 persen (angka ini hanya estimasi kelompok kami). Umumnya, ia adalah guru baru, guru muda atau guru lama tapi berfikir terbuka terhadap inovasi baru dalam pembelajaran. Sedangkan guru yang tidak mau melakukan perubahan dicirikan dengan guru tua atau juga muda yang tidak terbuka dengan inovasi baru dalam pembelajaran. Tentu guru tipe pertama lebih ideal.
Implementasi pembelajaran multikultural dalam pendidkan IPS di sekolah diperlukan tipe guru ideal sebagaimana dijelaskan di atas. Faktanya secara kuantitatif kelompok ini lebih sedikit sehingga akan menjadi kendala dalam pelaksanaannya. Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan agar tipe guru ideal secara kuantitas lebih banyak yang kemudian tentu sangat berdampak dalam pengembangan model dan strategi pembelajaran IPS di sekolah dan pada akhirnya mampu melahirkan peserta didik yang menghargai pluralitas dan keragaman etnis, bahasa, dan agama. Modal ini tentu sangat memperkuat kohesi sosial dan pada akhirnya memperkuat integritas bangsa.
Apa yang dijelaskan di atas adalah bagian dari sebuah proses pembelajaran yang harus dijalankan oleh guru. Beberapa hal penting yang harus dilakukan seorang guru IPS yakni pada strategi pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam mata pelajaran IPS, yakni hendaknya lebih menekankan pada aktivitas siswa. Metode pembelajaran yang dilakukan hendaknya yang menuntut berbagai jenjang kemampuan siswa. Jenjang kemampuan siswa yang dituntut tidak hanya pada level yang rendah, misalnya kemampuan menghafal. Berbagai keterampilan berpikir dapat dikembangkan, misalnya kemampuan berpikir kritis dilakukan dengan berbagai metode seperti diskusi, kemampuan melakukan penelitian atau observasi, kemampuan afektif menggunakan metode role playing atau sosio drama, dan contoh-contoh yang lainnya. Agar guru dapat menguasai berbagai metode mengajar maka perlu dilakukan pelatihan tentang berbagai metode mengajar dalam mata pelajaran IPS. (Badan Litbang Puskur Depdiknas, 2007: 9).
Dalam rangka menciptakan suasana pembelajaran IPS yang mengusung nilai-nilai multikultural maka diperlukan model pembelajaran yang tepat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Ketepatan memilih model ini akan berdampak terhadap pembelajaran yang dihasilkan, yakni munculnya rasa empati, simpati, toleransi, saling menghargai, mengedapankan budaya saling menolong, mengembangkan kreativitas (student centered), dan berbagai hal positif lainnya.
Untuk lebih memahami tentang model pembelajaran yang dianggap dapat membentuk peserta didik dalam memahami sebuah keragaman dan multukultural, maka akan dijelaskan beberapa contoh model pembelajaran sosial.

1. Definisi, Ciri-ciri dan Pengelompokan Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dan lain-lain. (Joyce, dkk. 1992: 4, dalam Trianto, 2007: 5).
Arends (1997:7, dalam Trianto, 2007: 5) menyatakan bahwa istilah model pengajaran pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuannya, sintaksnya, lingkungannya, dan sistem pengelolaannya.
Berdasarkan kedua pengertian itu, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Model pembelajaran memiliki ciri-ciri khusus yaitu: (a) Rasional teoritik
yang logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; (b) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar.; (c) Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; (d) Lingkungan belajar yang duperlukan agar tujuan pembelajaran dapat.(Trianto, 2007: 6).
Joyce, dkk (2009:31) mengelompokkan model-model pengajaran ke dalam empat kelompok besar, yakni: (1) Kelompok model pengajaran memproses informasi; (2) Kelompok model pengajaran sosial; (3) Kelompok model pengajaran personal; (4) Kelompok model pengajaran sistem perilaku. Berbeda dengan Arends (2001: 24, dalam Trianto, 2007: 9) ia menyeleksi enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru dalam megajar, yakni: (1) presentasi; (2) pengajaran langsung; (3) pengajaran konsep; (4) pembelajaran kooperatif; (5) pengajaran berdasarkan masalah; dan (6) diskusi kelas.
Hal paling penting yang dikemukakan oleh Arends dan juga para perancang model pembelajaran lainnya yakni bahwa tidak ada satu model pembelajaran pun yang paling baik, karena masing-masing model dapat dirasakan baik, apabila telah diujicobakan. Karena itu, menurutnya, dari beberapa jenis model pembelajaran itu hendaknya diseleksi mana yang paling baik sesuai dengan materi tertentu dan tentu juga disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa, sarana yang tersedia sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai (Trianto, 2007: 9).

2. Model Pembelajaran
Menurut Joyce, dkk. (2009: 295), latar belakang munculnya model-model pembelajaran sosial, yakni; (1) manusia adalah makhluk sosial; (2) tujuan pembelajaran adalah untuk mengembangkan tingkah laku demokratis; (3) agar tercipta aktivitas kerjasama untuk menghindarkan konflik sosial; (4) pada dasarnya manusia suka bekerjasama, berdebat, dan berdiskusi.
Keempat latar belakang ini kemudian dikembangkan berbagai model pembelajaran yang lebih dikenal dengan “cooprative learning” yang dapat diterapkan pada semua bidang mata pelajaran, khususnya IPS yang secara umum bertujuan untuk membentuk warga Negara yang baik (good citizenship).

a. Asumsi yang Mendasari Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif, yang selanjutnya dikembangkan dalam berbagai model pembelajaran, seperti investigasi kelompok dan role playing menurut Joyce, dkk. (2009: 302) pada dasarnya memiliki beberapa asumsi, yakni:
(1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkat motivasi yang jauh lebih besar dari pada dalam bentuk lingkungan kompetitif individual. Kelompok-kelompok sosial integratif memiliki pengaruh yang lebih besar pada kelompok yang dibentuk secara berpasangan. Perasaan-perasaan saling berhubungan (feelings of connectedness) menghasilkan energi yang positif;
(2) Anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu sama lain. setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak dari pada dalam struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa siswa lainnya;
(3) Interaksi antaranggota, akan menghasilkan aspek kognitif semisal kompleksitas sosial, menciptakan sebuah aktivitas intelektual yang dapat mengembangkan pembelajaran ketika dibenturkan pada pembelajaran tunggal;
(4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif terhadap satu sama lain, menghilangkan pengasingan dan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan sebuah pandangan positif mengenai orang lain;
(5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya melalui pembelajaran yang terus berkembang, namun juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan;
(6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas serta merasa harus bekerja sama dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif. Dengan kata lain, semakin banyak siswa mendapat kesempatan untuk bekerjasama, maka mereka akan semakin mahir bekerjasama, dan hal ini akan sangat berguna bagi skill sosial mereka secara umum;
(7) Siswa, termasuk juga anak-anak, bisa belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bekerja sama.

Beberapa hal penting yang dapat dicermati dari ketujuh point tentang asumsi pembelajaran kooperatif, kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran sosial berbasis multukultural pendidikan IPS, yakni pertama, mengutamakan kooperatif daripada kompetitif. Asumsi ini tentu mempersempit ruang konflik terhadap peserta didik yang pluralis dari segi etnis, bahasa, agama, status sosial, tingkat kepandaian, dll. Kedua, Kerja sama menghilangkan pengasingan dan penyendirian, sebaliknya membangun sebuah hubungan dan pandangan positif mengenai orang lain. Arti penting pada bagian ini adalah bagaimana memiliki pandangan positif terhadap orang lain, dan tentu juga terhadap kultur yang dimiliki di antara peserta didik. Ketiga, adanya perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan. Berbagai konflik yang terjadi, diantaranya disebabkan oleh tidak menghargai terhadap budaya yang berbeda. Akhirnya, berbagai gesekan pun terjadi yang mengarah kapada konflik horizontal. Keempat, bekerjasama akan sangat berguna bagi peningkatakn keterampilan sosial (sosial skill). Tidak dapat dipungkiri bahwa kemampuan mengembangkan keterampilan sosial telah mengantarkan orang pada keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi dan politik.
Johnson, dkk. (2010), dalam bukunya, “Collaborative Learning” menyoroti fenomena konflik yang terjadi pada peserta didik dalam sebuah proses pembelajaran kooperatif. Ia menyatakan bahwa kooperasi atau kerjasama dan konflik berjalan bergandengan. Bahkan, ia menegaskan bahwa justru ketika konflik tidak muncul dalam sebuah proses pembelajaran maka sebuah gambaran bahwa sikap yang dominan dalam suasana pembelajaran adalah apatis, acuh tak acuh, dan tidak harmonis. Semakin besar kepedulian anggota kelompok terhadap pencapaian tujuan kelompok dengan kelpompok lain, semakin besar kemungkinan terjadinya konflik. Hal ini sejalan dengan teori konflik yang dikemukakan oleh Simmel (1904, dalam Saifuddin, 1986: 7), yakni jika menghendaki perdamaian, hendaklah bersiap untuk berperang. Secara tersirat, ungkapan ini berarti adanya kesinambungan antara konflik dan integrasi, antara kekacauan dan keteraturan, karena manusia tidak selamanya berada dalam kekacauan atau keteraturan terus-menerus. Jadi, berdasarkan asumsi ini maka tidak ada satu kelompok masyarakat pun yang tidak mengalami konflik-konflik sosial.
Saifuddin (1986: 8) menegaskan, berdasarkan penjelasan teori Simmel bahwa yang dimaksud dengan konflik di sini adalah konflik yang bermakna sosial bukan individual. Pada kasus konflik yang terjadi di negeri ini kecenderungannya adalah adanya pertentangan antara golongan sosial-golongan sosial yang masing-masing memantapkan identitas golongannya untuk menghadapi golongan lain.
Penjelasan tentang konflik di atas, baik yang dikemukakan oleh Johnson (2010) dalam konteks pembelajaran dengan pendekatan kooperatif di sekolah maupun yang dikemukakan oleh Simmel dalam konteks konflik sosial adalah sama, bahwa untuk mencapai sebuah perdamaian dan selanjutnya tercipta sebuah integrasi, maka konflik menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Konflik menurut H.C. Triandis (dalam Machfud, 2009: 135) disebabkan oleh perbedaan kultur subjektif dalam masyarakat majemuk. Perbedaan itu meliputi persinggungan kepentingan baik secara budaya, ekonomi, politik, maupun sosial. Karena itu, untuk meredam konflik perlu saling memahami kultur subjek, karena dengan demikian masing-masing kelompok etnik dapat berinteraksi dan saling memahami, saling berkomunikasi, saling pengertian, dan saling menghargai perbedaan-perbedaan yang dimiliki. Karena itu, implementasi sebuah model pembelajaran yang berbasis multikultur akan sangat membantu pendidik dalam menanamkan perasaan saling menghargai antar peserta didik yang berasal dari berbagai kultur.

b. Model Pembelajaran Investigasi Kelompok (IK)
Dalam model pembelajaran, ada tiga model yang dianjurkan oleh Joyce, dkk. (2009) yakni: (1) Investigasi Kelompok; (2) Role Playing; dan (3) Jurisprudential Inquiry. Karena luasnya cakupan pembahasan, maka hanya akan dibahas dua model, yakni Investigasi Kelompok dan Role Playing. Alasan kedua, karena model pembelajaran sosial jurisprudential lebih efektif diterapkan pada kelas menengah atas (SMA/SMA/MA), sedangkan kedua model sebelumnya dapat digunakan sejak kelas dasar hingga menengah.
Investigasi kelompok atau penyelidikan merupakan kegiatan pembelajaran yang memberikan kemungkinan siswa untuk mengembangkan pemahaman siswa melalui berbagai kegiatan sesuai pengembangan yang dilalui siswa (Soppeng, 2009 dalam Anggraini, 2011) . Kegiatan belajarnya diawali dengan pemecahan soal-soal atau masalah-masalah yang diberikan oleh guru, sedangkan kegiatan belajar selanjutnya cenderung terbuka (prinsip demokratis).
Menurut Height (dalam Anggraini, 2011), investigasi berkaitan dengan kegiatan mengobservasi secara rinci dan menilai secara sistematis. Jadi investigasi adalah proses penyelidikan yang dilakukan seseorang, dan selanjutnya orang tersebut mengkomunikasikan hasil perolehannya, dapat membandingkannya dengan perolehan orang lain, karena dalam suatu investigasi dapat diperoleh satu atau lebih hasil.
Diantara tokoh pengembang model ini adalah Sharan, Thelen, Dewey, dll.Hal yang terpenting dari Dewey bahwa sekolah hendaknya dijadikan sebagai miniature negara demokrasi, dimana pada siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial. (Joyce, 2009: 314-315). Apa yang dianjurkan oleh Dewey, sangat memberi peluang terhadap pendidikan multikultural. Peserta didik dalam melakukan investigasi kelompok, tentu akan terbiasa dan akan mahir dalam bekerjasama. Ia pun tidak boleh memaksakan kehendak, namun setiap persoalan harus ada opsi sebelum dilakukan sebuah tindakan. Hal inilah yang kemudian dianggap sangat berpengaruh terhadap konsep diri peserta didik ketika ia dihadapkan pada berbagai persoalan ril di masyarakat.
Pemikiran Dewey yang utama dalam pendidikan, adalah (a) siswa hendaknya aktif, leraning by doing; (b) belajar hendaknya didasari motivasi instrinsik; (c) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (d) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (e) pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain. (Arends, 1998: 24, dalam Nasir, 2012: 8).
Dalam pelaksanaan model pembelajaran Investigasi Kelompok, dilakukan enam langkah-langkah, yakni: (1) siswa dihadapkan pada situasi yang problematis, (2) siswa melakukan eksplorasi sebagai respon terhadap situasi yang problematis itu, (3) siswa dalam kelompok mengatur pembagian tugas dan merumuskan tujuan bersama, (4) siswa melakukan kegiatan individual dan kelompok, (5) siswa dalam kelompoknya mengkaji apakah situasi problematis yang dihadapi telah dapat dicarikan solusinya (Anggota kelompok mencek proses dan hasil investigasi kelompoknya dan melakukan tindak lanjut), dan (6) secara kelompok atau individual siswa melakukan recycle aktivities (tindakan pengulangan). (Joyce, 2009: 319).
Enam langkah tersebut dikembangkan berdasarkan tiga konsep utama yang menjadi ciri model investigasi kelompok ini, yakni (1) penelitian (inquiry), (2) pengetahuan (knowledge), dan (3) dinamika belajar kelompok (the dynamic of the learning group). Ciri pertama ditandai oleh adanya situasi problematis yang dihadapi oleh pembelajar. Situasi problematis itu pada giliran selanjutnya mendorong siswa untuk melakukan pemeriksaan (investigasi/penelitian) untuk mencari solusi bersama anggota kelompok. Berpedoman pengetahuan yang dimiliki, setiap anggota kelompok urun rembug memberikan pendapatnya untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di dalam kelompok. Lantaran setiap anggota kelompok memiliki bekal pengetahuan masing-masing, maka pencarian dan pencapaian solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok dapat diselesaikan dengan mufakat bulat.
Ada beberapa kelebihan model pembelajaran investigasi kelompok, yang akan memberikan reinforcement (penguatan) jika dikaitkan dengan persoalan pembelajaran sosial berbasis multikultural dalam rangka menguatkan kohesi sosial dan integrasi bangsa, yakni: (1) kemampuan memecahkan dan menangani suatu masalah; (2) meningkatkan belajar bekerja sama; (3) belajar berkomunikasi baik dengan teman sendiri maupun guru; (4) belajar menghargai pendapat orang lain; (5) meningkatkan partisipasi dalam membuat suatu keputusan.
Dampak instruksional dan pengiring pada model ini yang berkaitan langsung dengan pendidikan multikultural yakni kemampuan model ini dalam memicu peserta didik dalam melakukan penghargaan terhadap martabat orang lain dan pembiasaan menyelesaikan berbagai persoalan dengan cara berkelompok. Kedua dampak ini sangat memberi peluang pada peserta didik dalam melatih sikap menghargai orang lain.

c. Model Pembelajaran Role Playing
Menurut Joyce (2009) role playing atau di Indonesia lebih dikenal sebagai bermain peran merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari dimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu masing-masing siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok sosial. Model ini juga menyokong beberapa cara dalam proses pengembangan sikap sopan dan demokratis dalam menghadapi masalah.
Model ini dikembangkan oleh beberapa pakar antara lain: Fannie dan George Shaftel (1967) Mark Chesler dan Robert Fox (1996) dan juga Bruce Joyce, Marsha Weil dan Emily Calhoun (2009). Para pakar tersebut sependapat bahwa dalam role playing, siswa mengeksplorasi masalah-masalah tentang hubungan antarmanusia dengan cara memainkan peran dalam situasi permasalahan kemudian mendiskusikan peraturan-peraturan. Secara bersama-sama, siswa bisa mengungkapkan perasaan, tingkahlaku, nilai, dan strategi pemecahan masalah.
Menurut Joyce (2009:329) beberapa asumsi mengenai proses pembelajaran dalam role playing mengacu pada tujuan-tujuan yang ada dalam model pengajaran role playing yaitu: (1) mengeksplorasi perasaan siswa, (2) mentransfer dan mewujudkan pandangan mengenai perilaku, nilai, dan persepsi siswa, (3) mengembangkan skill pemecahan masalah dan tingkah laku, (4) mengeksplorasi materi pelajaran dalam cara yang berbeda.
Model pengajaran bermain peran, struktur model yang dikembangkan terdiri atas 9 fase, yaitu: fase (1) siswa dihadapkan pada identifikasi masalah; Fase (2) siswa menganalisis dan memilih peran; Fase (3) siswa mengatur rangkaian tindakan dan merekapitulasi peran; Fase (4) siswa akan melakukan observasi; Fase (5) siswa bermain peran sesuai dengan permasalahan yang telah diidentifikasi; Fase (6) siswa melakukan diskusi dan evaluasi terhadap peran yang telah dimainkan dan mengembangkan pemeranan selanjutnya; Fase (7) siswa memainkan kembali peran yang telah diubah; Fase (8) siswa mendiskusikan kembali sebagaimana dalam tahap enam; Fase (9) siswa menghubungkan situasi permasalahan dengan pengalaman yang sebenarnya terjadi. (Joyce, 2009: 345-346).

(1) Prinsip dan Karakteristik Pembelajaran Role Playing
Model pembelajaran role playing ini digunakan apabila pelajaran dimaksudkan untuk menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut orang banyak, dan berdasarkan pertimbangan didaktik (pengajaran) lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak dan melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial-psikologis. Selain itu dapat melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.
Model role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Pengertian lain dari model pembelajaran Role Playing atau bermain peran adalah model pembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Pada model role playing ini, proses pembelajaran ditekankan pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi, baik guru maupun siswa.

(2) Dampak-Dampak Instruksional dan Pengiring
Melalui implementasi model pembelajaran model role playing, maka diharapkan menghasilkan out put peserta didik dalam hal kemampuan: (1) menganalisis nilai dan perilaku masing-masing individu; (2) pengembangan strategi dalam memecahkan masalah interpersonal maupun personal; (3) pengembangan rasa empati terhadap orang lain. Sedangkan dampak pengiring, yakni: (1) pemerolehan informasi mengenai masalah sosial dan nilai; dan (2) kemampuan dalam mengembangkan keterampilan bernegoisasi (Joyce, 2009: 344).
Jika dicermati dampak instruksional dan pengiring pada model pembelajaran role playing, tentu sangat sejalan dengan pendidikan multikultural, karena hasilnya adalah peserta didik akan memiliki beberapa kemampuan seperti kemampuan memecahkan masalah, pengembangan rasa empati terhadap orang lain dan kemampuan bernegoisasi. Kaitannya dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, maka konflik yang terjadi di antaranya akibat ketidakmampuan seseorang dalam memecahkan masalah sosial, di samping ketidakmampuan seseorang dalam bernegoisasi dalam memecahkan berbagai persoalan sosial yang muncul dalam kehidupan masyarakat yang multikultur. Karena itu, melalui penerapan model pembelajaran role playing ini, diharapkan peserta didik akan semakin cerdas dan terampil dalam memecahkan berbagai masalah sosial.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konflik yang kerap terjadi di negeri ini, diakui atau tidak merupakan bagian dari problem kultural yang salah satu penyebabnya adalah keragaman kultur yang ada dalam masyasarakat di negeri ini. Keragaman cultural atau multukultural yang ada itu tentu bagai dua sisi mata uang, ia bisa saja menjadi sebuah kekuatan tapi tidak jarang justru menjadi kelemahan yang ditandai dengan munculnya berbagai konflik. Karena itu, satu kalimat kunci dalam memahami sebuah keragaman adalah: “bagaimana memahami sebuah keragaman untuk dijadikan sebuah kekuatan bersama”. Tentu ini tidak mudah, karena diperlukan proses internalisasi budaya melalui sebuah proses pendidikan yang lama dan keseriusan dalam tataran praksis.
Salah satu upaya preventif untuk membangun kesadaran dan pemahaman generasi masa depan dalam melihat sebuah budaya yang beragama (multikultur), maka diperlukan internalisasi nilai-nilai budaya melalui sebuah proses pendidikan. Penerapan model pembelajaran sosial berbasis multikultural, khususnya model investigasi kelompok dan role playing dianggap diantara model pembelajaran yang mampu mengakomodir keberagaman itu. Model pembelajaran sosial berbasis multikultural dalam pendidikan IPS, tentu tidak hanya bermaksud melakukan transfer of knowledge an sich, namun yang terpenting adalah transfer of value. Harapannya, siswa dapat memahami dan sekaligus mempraktekan nilai-nilai pluralisme, demokrasi, humanisme dan keadilan terkait dengan perbedaan kultural yang ada disekitarnya.

B. Saran-Saran
1. Kepada pemerintah, hendaknya memikirkan secara serius persoalan multikultural di Indonesia, dengan mewarnai kurikulum (baik tingkat dasar maupun menengah) yang berdasar pada semangat multikulturalisme. Tujuan utamanya adalah sebuah upaya preventif terhadap munculnya konflik yang berbau SARA.
2. Kepada praktisi pendidikan (guru, dosen, dll.), hendaknya hendaknya menanamkan nilai-nilai multikulturalisme dalam proses belajar mengajar (PBM) melalui sebauh model pembelajaran, khususnya penerapan model pembelajaran sosial, seperti investigasi kelompok dan role playing.
3. Kepada semua elemen masyarakat, agar bekerja sama dalam mewujudkan pendidikan multikulturalisme melalui pendidikan formal, informal dan nonformal.
4. Pembelajaran IPS berbasis multikultural dengan menggunakan metode Group Investigation dan Role Play tidak mutlak dapat digunakan pada setiap sekolah di berbagai wilayah di Indonesia, karena model ini memerlukan beberapa kelengkapan sarana seperti ketersediaan referensi dan juga kuantitas dan kualitas guru yang bersangkutan.
5. Kepada para peneliti, hendaknya terus melakukan penelitian, khususnya berbagai penerapan pendekatan, model, strategi dan metode pembelajaran yang mengusung nilai-nilai multikultural sebagai upaya mencegah disintegrasi bangsa akibat konflik yang berbau SARA.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fedyani Saifuddin. 1986. Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali.
Badan Litbang Pusat Kurikulum, Depdiknas, 2007.
Banks, J.A. 1987. Teaching Strategies for Ethnic Studies. USA: Allyn and Bacon Inc.
Banks, J.A. 1993. “Multikultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice”. In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research Association. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Banks, J.A. 1993. Multikultural Education: Its Effects on Studies’ Racial abd Gender Role Attitude. In Handbook of Research on Sosial Teaching and Learning. New York.: MacMillan. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Banks, J.A. 1994b. Multiethnic Education: Theory and Practice, 3rd ed. Boston: Allyn and Boston. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Banks, J. A. 1997. Multikultural Education: Characteristics and Goals. In J. A.Banks & C. A. M. Banks, (Eds.). Multikultural Education: Issues and Perspectives (3rd ed., pp. 3-31). Boston: Allyn and Bacon. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Banks, James A. “Multiculural Education: Goals and Dimension”, (online). http://education.washington.edu/cme/view.htm, diakses tanggal 19 Maret 2012.
Bennett,C. & Spalding,E. 1992. “Teaching the Sosial Studies: Multiple Approaches for Multiple Perspectives”. In Theory and Reseach in Sosial Education. XX: 3 (263-292).
Choirul Machfud. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Enok Maryani. 2011. Pengembangan Program Pembelajaran IPS untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial. Bandung: Alfabeta.
Farris,P.J. & Cooper, S.M. 1994. Elementary Sosial Studies: a Whole Language Approach. Iowa: Brown&Benchmark Publishers. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Irawan, Prasetyo; Suciati; IGK Wardani. 1996. Teori Belajar, Motivasi dan Keterampilan Mengajar. Jakarta. PAU-UT.
Johnson, dkk. 2010. Collaborative Learning: Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama. Bandung: Nusa Media.
Joyce, dkk. 2009. Models of Teaching. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joni, Raka, T. 1980. Strategi Belajar-Mengajar Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta. P3G. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementerian Dalam Negeri, 2004. (online). http://www.depdagri.go.id/pages/data-wilayah. diakses tanggal 20 Maret 2012.
Lela Anggraini. 2011. “Model Pembelajaran Investigasi Kelompok Pada Pemecahan Masalah Matematika“, (online). http://lela68.wordpress.com/2011/09/22/model-pembelajaran-investigasi-kelompok-pada-pemecahan-masalah-matematika/, diakes tanggal 20 Maret 2012.
Nasikun. 2004. Sistem Sosial di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Savage, T.V.,& Armstrong, D.G. 1996. Effective Teaching in Elementary Sosial Studies. Ohio: Prentice Hall. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Skeel, D.J. 1995. Elementary Sosial Studies: Challenge for Tomarrow”s World. New York: Harcourt Brace College Publishers. (E-Book), diakses tanggal 15 Maret 2012).
Suwarma Al Muchtar. tt. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: UPI.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Tidak terasa (terasa jua ai) saya telah menyelesaikan perkuliahan di Program Doktoral Pendidikan IPS UPI Bandung. Banyak suka dan duka yang saya alami selama proses pendidikan ini berlangsung. Mulai dari persoalan meninggalkan keluarga, keuangan bahkan kesehatan. Alhamdulillah semua ini bisa dilalui dengan baik.

Sebentar lagi memasuki semeseter tiga 2011/2012, targetnya proposal disertasi sudah selesai sehingga semester empat dapat melakukan research.

Menyusun proposal pun tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak pertimbangan yang harus diambil. Mulai dari topik sampai cakupan kajian. Dalam hal memilih topik pun mengalami banyak persoalan. Antara tema yang katanya dapat cepat selesai sampai ke topik yang perlu kajian mendalam dan tentu lebih lama.

semua itu adalah pilihan-pilihan. Antara idealis dan kenyataan perlu menjadi pertimbangan….namun harus diingat b ahwa Disertasi adalah karya MONOMENTAL..karena itu harus BAGUS, BERMANFAAT bagi kemajuan ilmu dan masyarakat……

Komentar Terbaru

syaharuddin pada MODEL PEMBELAJARAN
syaharuddin pada Sejarah PGRI
syaharuddin pada Final Tes Sejarah Pendidikan I…
syaharuddin pada Studi (Negara) Postkolonial
syaharuddin pada Al Idrisi: Sang Geografer Musl…

Flickr Photos

Juni 2012
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
252627282930  

Blog Stats

  • 272.754 hits